1.
Pengertian
pembinaan akhlak
Akhlak dalam istilah Islam adalah
kepribadian yang melahirkan tingkah laku perbuatan manusia terhadap diri
sendiri dan makhluk lain sesuai dengan suruhan dan larangan serta petunjuk
Al-Quran dan Hadits.
Dalam pembinaan akhlak kepada anak usia dini,
diperkenalkan sikap dan prilaku Nabi Muhammad SAW. Yang di utus untuk
menyempurnakan akhlak manusia. Dalam hal ini Allah SWT berfirman dalam surah
Al-Ahzab ayat 21 yang berbunyi:
Artinya: “
Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu
(yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat
dan dia banyak menyebut nama Allah”. (Q.S. Al-Ahzab : 21)
Ayat di atas menunjukkan bahwa setiap mukmin dapat
mencontoh prilaku Nabi SAW. Yang merupakan pedoman yang dapat menuntun manusia
kepada akhlakul karimah.
Seiring dengan perkembangan zaman dan pengaruh
transformasi nilai baik melalui media masa dan media elektronik sangat meberikan dampak dan pengaruh dalam
perkembangan mental dan kepribadian anak terutama generasi muda yang masih
mencari jati dirinya, masyarakat sangat mengharapkan sekolah menjadi tempat
rehabilitasi menta dan kepribadian anak.
Agama islam memandang akhlak sebagai hal yang utama,
perhatian islam terhadap akhlak sangat besar, sehingga salah satu tugas
Rasulullah Saw diutus Allah adalah memperbaiki akhlak manusia.
Jalaluddin mengatakan pembinaan akhlak pada anak
yang paling bertanggung jawab adalah orang tua di dalam rumah, dan guru di
lingkungan sekolah serta masyarakat dilingkungan sekolah serta masyarakat di
lingkungan sosial, mereka sebagai pendidik bagi anak harus memiliki tiga aspek
yaitu :
1. Akhlak
kepada Allah Swt
2. Akhlak
sesama manusia
3. Akhlak
dengan makhluk lain
Pendidikan akhlak dalam keluarga
dilaksanakan dengan memberi contoh teladan yang baik, begitu juga guru di
sekolah harus mencerminkan seorang yang dapat di contoh oleh anak didik. Baik
buruk seorang anak yang tumbuh pada masa anak-anak sangat tergantung pada
pendidikan yang diterima oleh anak[1].
2.
Tujuan
pendidikan akhlak
Materialisasi tujuan pendidikan
merupakan landasan awal bagi proses materialisasi seluruh aspek. Tujuannya
dimanapun ia berada merupakan muara akhir dari semua proses yang ada
sebelumnya, termasuk disini adalah dalam proses pendidikan. Tujuan pendidikan
yang dimaterialisasikan adalah upaya mencapai tujuan pendidikan nasional maupun
pendidikan Islam dengan asumsi dapat di ukur secara kuantitatif[2].
Dan dapat dilihat hasilnya secara nyata. Tujuan-tujuan pendidikan yang pernh
mengalami materialisasai dapat dilihat tujuan para pendidik.misalnya,berapa
alumni yang telah menjadi dokter, berapa yang telah menjadi pengacara, berapa
yang telah menjadi pejabat tinggi, dan berapa alumni yang telah menjadi anggota
dewan[3].
a. Tujuan
Pendidikan Karakter Menurut Ibn Miskawaih
Menurut Ibn Maskawih, tujuan yang substansial
daripada pendidikan dan pembinaan karakter manusia bertujuan untuk membentuk
tingkah laku manusia agar memiliki karakter yang baik, bertindak dengan
perilaku yang terpuji, sempurna sesuai dengan fitrah dan kodratnya sebagai
manusia sehingga mampu mengangkat martabatnya dari martabat yang tercela kepada
martabat yang mulia.
Nilai-nilai karakter yang ingin
diwujudkan oleh islam berdimensi transendentral (melampaui wawasan hidup
duniawi), sampai ke ukrawi dengan meletakkan cita-cita yang mengandung dimensi
nilai duniawi sebagai sarana yang digunakan untuk memperolah tujuan yang ingin
dicapai. Secara spesifik tujuan pendidikan moral atau pendidikan akhlak yang
dirumuskan Ibn Miskawaih adalah terwujudnya sikap batin yang mampu mendorong
seseorang secara spontanitas setiap aktifitas yang dilakukan mempunyai nilai
yang baik
Tujuan pendidikan karakter yang
dirumuskan Ibn Miskawaih ini, relevan dengan hakikat karakter yang
dikonstruknya yaitu bahwa karakter merupakan suatu sikap yang dilakukan dengan
dorongan kekuatan alam bawah sadarnya atu dengan kata lain kebaikan itu timbul
tanpa diprogramkan. Jadi tujuan pendidikan karakter yang dirumuskan Ibn
Miskawaih tidak keluar dari kerangka pengertian hakikat karakter yang dibangun,
namun memiliki relevansi dan saling keterkaitan antara hakikat dan tujuan
pendidikan karakter.
Menurut Ibn Miskawaih pendidikan
moral memiliki tujuan untuk membawa manusia kepada kesempurnaannya sebagai
manusia, agar memiliki karakter yang dapat dimanipestasikan dalam kehidupannya,
sehingga setiap aktivitasnya yang mengandung dan mempunyai nilai yang baik.
Tujuan pendidikan karakter ibn
miskawaih yang memiliki relevansi dengan hakikat karakter yang telah
dirumuskannya, dengan demikian dari berbagai penjelasan diatas dapat
disimpulkan bahwa setidaknya terdapat tiga tujuan dalam pendidikan karakter.
Dengan demikian dari berbagai penjelasan di atas
dapat disimpulkan bahwa setidaknya terdapat tiga tujuan dalam pendidikan
karakter yang dirumuskan ibn miskawaih untuk mendukung hakikat moralnya yaitu
a. Pendidikan
karakter bertujuan sebagai usaha untuk mengaktifkan potensi manusia sehingga
kembali kepada fitrahnya manusia yang bertauhid berbakti dan dalam agama
(beragama islam) yang memiliki akar ketauhidan sehingga tindakan reflektif
(tidak diprogramkan) sesuai dengan ketentuan syariat agama.
b. Pendidikan
karakter bertujuan sebagai usaha kontinuetas dalam membentuk malakah dan moral
subjek didik melalui program pembiasaan-pembiasaan secara kontinuetas sehingga
pengalaman yang didapatkan dalam mengikuti program pendidikan karakter tersebut
menjadi sifat yang melekat dalam jiwa (menjadi tabiat) subjek didik, sehingga aktifitas-aktifitas
yang dilakukan selanjutnya akan mengikuti atau terbiasa kketiika menjalankan
program secara kontinuetas.
c. Pendidikan
karatakter bertujuan agar manusia sempurna dan memperoleh kesiapan untuk
mendapatkan atau memperoleh berbagai macam tingkatan.
b. Tujuan
pendidikan menurut John Dewey
Menurut Dewey tujuan pendidikan karakter yaitu
menyesuaikan diri dengan lingkungan. Kaidah-kaidah moralitas hanya digunakan
dari interaksi hidup seseorang dalam masyarakat.
Dalam pendidikan moral John Dewey ketika dirumuskan
akan ditemukan tiga tujuan dalam pendidikan karakter yang diterapkan yaitu :
a. Pendidikan
karakter bertujuan melahirkan atau membentuk pengalaman yang bersifat edukatif
secara kontinuitas.
b. Pendidikan
karakter bertujuan melahirkan atau membentuk subjek didik untuk berfikir
kritis. Berfikir kritis ini bertujuan agar subjek didik berusaha untuk
memecahkan masalah yang biasanya telah menentukan hasil yang diharapkan sejak
awal.
c. Pendidikan
karakter bertujuan akan memberikan manfaat kepada subjek didik dan sosial
kemasyarakatan[4].
3.
Pendekatan
pendidikan akhlak
a. pendekatan
menurut John dewey
pandangan Dewey bahwa karakter tidak dapat diajarkan
kepada anak melalui cerita-cerita yang dikisahkan kepadanya, akan tetapi hanya
dapat diajarkan melalui praktek yang manusiawi saja, sehingga kebajikan,
moralitas dan pengertian yang terkandung didalam cerita-ceirta
tidak mungkin dipindahkan (ditransformasikan) ke dalam jiwa anak untuk menjadi
karakternya, yang kemudian berinteraksi dengan anak lain berdasarkan atas
pemeliharaan keutamaan-keutamaannya, sehingga menghasilkan perilaku yang tetap
sebagai watak anak; Akhlak (moralitas) hanya dapat diajarkan dengan cara
membiasakan dengan perbuatan praktis.[5]
Mengenai
pendekatan yang diguanakan Dewey dalam pendidikan karakter yaitu dengan
pendekatan pengalaman, dengan kata lain menekankanpada pengalaman subjek didik
dalam bentuk moralitasnya. Namun pengalaman di sini menurut Dewey, bukanlah
semua pengalaman, karena tidak semua pengalaman tersebut mendidik bahkan sebaliknya.
Bagi Dewey yang penting adalah kualitas pengalaman tersebut apakah dia mampu
mendidik atau tidak. Dengan demikian perhatian terhadap pengalaman merupakan
fokus Dewy dan pendekatan yang digunakan dalam membentuk moral seseorang.[6]
Menurut
Dewey, metode yang digunakan dalam menanamkan moral pada sesseorang harus
disesuaikan dengan tingkatan perkembangan, cara berfikir dan cara beraktivitas
anak. Sedangkan penentuan materi yang disampaikan harus disesuaikan dengan
perhatian, kebutuhan anak sebagai akibat dari instinknya. Hal ini dikarenakan
orientasi filsafat yang dianut Dewey pragmatisme,
sehingga segala sesuatu yang dilakukan harus memiliki manfaat bagi subjek
pendidik, sehingga semua pendekatan yang digunakan harus mampu mengakomodasi
kebutuhan subjek pendidik.[7]
Dengan
demikian, melakukan konstruksi karakter seorang anak yang berlandaskan
pengalaman, dengan kata lain konstruksi moral harus menekankan pada pengalaman
subjek didik dalam mengikuti latihan-latihan sebagai upaya konstruksi karakter.
Dalam melakukan konstruksi karakter ada 4 faktor, yaitu instink sosial, instink[8]
membentuk dan membangun, instink menyelidiki dan instink kesenian.[9]
Mengenai
metode ataupun pendekatan yang digunakan Jhon Dewey sebagai upaya atau
pendekatan dalam pembentukan moral yang digunakan Jhon Dewey adalah dengan
metode pemecahan masalah. Metode ini diaplikasikan Dewey pada sekolah proyeknya
sebagai sekolah eksperimen/percobaan untukmenguji teori problem solving ini.[10]
Pengertian
pengajaran proyek ini yaitu; guru dan murid membuat perencanaan seputar sebuah
permasalahan mengenai hal-hal yang akan dilaksanakan: dipelajari, dibuat,
dicatat, diperhatikan, diselidiki, ditinjau, dikumpulkan, disimulasikan dan
akhirnya dipresentasikan kepada wali murid.[11]
Selaku
umat muslim penerapan konsep hidup agamis di lingkungan keluarga berupa
pengenalan dan pemahaman akan Allah dan dirinya menjadi satu kewajiban, hal itu
bertujuan agar manusia dapat lebih dekat dengan Allah serta patuh terhadap
perintah dan menjaauhi larangan Nya. Di samping itu kekokohan aqidah yang
dibangun pada diri tiap insn membentuk kekuatan jiwa sehingga siap menghadaapi
segala tantangan zaman[12].
4. Prosedur pendidikan karakter
Prosedur
pendidikan karakter merupakan jalan atau cara yang digunakan dalam pendidikan
moral dalam hal ini prosedur pendidikan karakter merupakan penggunaan merode
dalam pendidikan karakter.
Teori
pendidikan islam harus berangkat dari al-qur’an dan hadits jika ia hendak
memiliki nilai tersendiri. Ayat-ayat al-qur’an bukan dimaksudkan untuk dibaca
dalam satuan waktu yang dewasa ini tersebut “pendidikan agama”. Ayat-ayat
tersebut, sesungguhnya yang membentuk
landasan seluruh sistem pendidikan. Tentu saja tidak bearti lantas
subjek-subjek lain dilupakan.
Prinsip-prinsip
al-qur’an membangun landasan dasar teori pendidikan, danpara ahli pendidikan
harus menerjemahkan detailnya. Al-qur’an membuka pintu bagi para spesialis
untuk memberikan kontribusi. Kenyataan ini menyatakan bahwa prinsip-prinsip
al-qur’an sebagaimana dinyatakan al-faruqi menjadi tolok ukur[13].
5. Metode pendidikan akhlak
Pembinaan
sikap dan prilaku anak mempunyai metode tersendiri. menurut Abdullah Nasikh
Ulwan ada beberapa metode pembinaan anak yang efektif diterapkan antara lain:
melalui contoh teladan, memberi nasehat, memberi perhatin khusus membiasakan
anak melakukan yang baik, memberi hukuman, untuk mengetahui lebih jelas metode
pembinaan anak, berikut ini akan dijelaskan yaitu:
a. Melalui
contoh teladan
Pembinaan dapat dilakukan dengan memberi
contoh teladan yang baik pada anak. Metode keteladanan paling berpengaruh dalam
mempersiapkan dan membentuk moral anak. Hal ini karena pendidik adalah contoh
terbaik dalam pandangan anak, yang ditirunya dalam jiwa dan perasaan satu
gambaran, baik material atau spiritual, diketahui atau tidak. Pembinaan anak
melalui contoh teladan dengan memberikan contoh teladan yang baik terhadap
anak.[14]
b. Metode
nasehat
Selain melalui contoh
teladan yang baik, pembinaan anak juga dapat dilakukan dengan memberi nasehat.
Islam menganjurkan pendidkan anak melalui nasehat,
Artinya:
Lukman
berkata:“hai anak ku dirikanlah sholat dan suruhlah manusia mengerjakan yang
baik dan cegalah mereka dari perbuatan yang mungkar dan bersabarlah terhadap
apa yang menimpah kamu. Dan sesungguhnya yang demikian itu termasuk hal-hal
yang diwajibkan oleh Allah”.
Ayat diatas merupakan salahsutu metode pembinaan yang
terdapat dalam Al-Qur’an. Metode tersebut adalah dengan cara memberi nasehat,
menerangkan tentang suatu perbuatan, kemudian menjelaskan akibat yang
ditimbulkan.[15]
c. Memberikan
perhatian khusus
Yang dimaksud dengan pembinaan dengan
perhatian adalah mencurahkan, memperhatikan dan senantiasa menggikuti
perkembangan anak dalam pembinaan aqidah dan moral, seperti sosial dan
spiritual, disamping selalu bertanya tentang situasi pendidikan jasmani dan
rohaninya. Melalui upayah tersebut tercipta muslim hakiki sebagai batu pertama
membangun fondasi islam yang kokoh.[16]
d. Membiasakan
anak melakukan yang baik
Melalui kebiasaan juga dapat mendidik
anak, hal ini merupakan salah satu metode pembinaan dalam lingkungan keluarga.
Pembiasan sebagai metode pendidikan dalam pertumbuhan dan perkembangan anak
akan membentuk budi pekerti dan etika yang lurus.
Dalam islam metode pembinaan anak
dikenal 2 metode secara garis besar, yakni: pertama, pengajaran ialah upaya
teoritis dalam perbaikan dan pendidikan. Kedua, pembiasaan ialah upaya dalam
pembentukan serta persiapan.[17]
e. Memberikan
hukuman
Memberikan hukuman bagi anak yang
melanggar atau melakukan tindakan kejahatan merupakan metode yang efektif dalam
pembinaan akhlak. Mendidik anak dengan memberi hukuman apabila siAnak tidak
melakukan perintah yang bersifat kebaikan merupakan metode efektif mendidik
anak. Menghukum anak dilakukan dengan tujuann mendidik anak sebatas tidak
menyakiti atau merusak fisik anak.[18]
Ada
juga metode pendekatan yang digunakan dalam pendidikan karakter menurut Ibn Miskawaih terdapat beberapa pendekatan
dan metode yaitu:
Metode pertama, dengan
internalisasi nilai-nilai kebaikan melalui mengajari nilai-nilai syari’at dan
nasehat-nasehat untuk mentaati dan mengikuti syari’at agama, sehingga ia
mengenal dan mengetahui mana yang buruk menurut syari’at agama, mana yang boleh
dan mana pula yang dilarang dan tiddak dibolehkan agama. Syariat agama
merupakan hal yang mendidik moralitas subjek didik untuk dibiasakan melakukan
aktivitas yang baik sesuai dengan tuntunan agama Islam.[19]
Metode kedua, memberikan
janji yang menyenangkan dan menakutkan, atau yang lebih dikenal dalam
pendidikan Islam dengan Thargib wa tahrib,
memberikan ganjaran dan hukuman apabila tidak mengikuti rule yang telah
ditetapkan sebelumnya. Dalam implementasi
Thargib wa tahrib ini
dibenarkan untukdihardik dan dipukul (tanpa membahayakan fisik) sebagai sebuah
ancaman yang menakutkan. Dengan kondisi ini, subjek didik akan mengetahui jalan
kebaikan sehingga sampai kepada tujuan dan cita-cita pendidikan yang
diinginkan.[20]
Metode ketiga, yang
digunakan dalam pendidikan moral yaitu melatih kedisiplinan melalui
latihan-latihan dan pembiasaan melakukan aktivitas yang baik sesuai dengan
tuntunan agama seperti membiasakan jujur, berbakti kepada kedua orang tua,
membiasakan dengan perkataan-perkataan yang baik dan lainnya sesuai dengan
tuntunan agama.[21]
Metode keempat, yang
digunakan dalam pendidikan karakter Ibn Miskawaih adalah dengan memanfaatkan
sifat malu yang dimiliki seorang subjek didik. Menurut Ibn Miskawaih, rasa malu
merupakan rasa takut dan perasaan buruk yang dimiliki dan muncul pada
anak-anak. Dengan rasa malu ini, seseorang akan takut memperlihatkan keburukan
yang dilakukannya. Dan dengan rasa malu ini, akan memproteksi subjek didik dari
pengaruh-pengaruh negatif dan membantunya melakukan aktivitas yang memilki
nilai kebaikan.[22]
Keempat
metode yang digunakan Ibn Miskawaih,tidak dipilih-pilih dan dipisah-pisahkan.
Namun keempat metode ini merupakan serangkaian aktivitas yang harus
dilaksanakan dalam membentuk karakter subjek didik. Keempat metode ini,
dilakukan berdasarkan urutan-urutan yang telah disebutkan sebelumnya.[23]
6.
Kriteria
keberhasilan
a. Pengertian
keberhasilan belajar mengajar
Keberhasilan belajar mengajar pada
dasarnya merupakan perubahan positif selama dan sesudah proses belajar mengajar
dilaksanakan. Keberhasilan ini anatra lain dapat dilihat dari keterlibatan
peserta didik secara aktif dalam proses pembelajaran dan perubahan positif yang
ditimbulkan sebagai akibat dari proses belajar mengajar tersebut. Keterlibatan
peserta didik tersebut bukan hanya dilihat dari segi fisiknya, melainkan yang
lebih penting adalah dari segi intelektual dan emosional selama berlangsungnya
kegiatan belajar mengajar tersebut, dan peserta didik mengalami perubahan
secara sadar atau tidak sadar setelah mengalami proses belajar mengajar
tersebut.
Selain itu, keberhasilan belajar
mengajar juga dapat dilihat dari dua segi. Dari segi guru keberhasilan mengajar
dapat dilihat dari ketetapatan guru dan memilih bahan ajar, media dan alat pengajaran
serta menggunakannya dalam kegiatan belajar dalam sua[24]perspktif
islam tentang strategi pembelajaran. Sedangkan dilihat dari segi murid,
keberhasilan mengajar dapat dilihat dari timbulnya keinginan yang kuat pada
diri setiap siswa untuk belajar mandiri yang mengarah pada terjadinya
peningkatan baik pada segi kognitif, afektif, maupun psikomotorik. Keberhasilan
belajar mengajar dari segi peserta didik tersebut dapat dilihat dari
indikasinya pada sejumlah kompetensi yang dimiliki peserta didik setelah
mengikuti kegiatan belajar mengajar, seperti kemampuan dalam mengemukakan
berbagai konsep dan teori, kemampuan dalam mempraktikkan berbagai teori dan
konsep yang dimilikinya, kemampuan dalam menguasai berbagai peralatan teknologi
canggih, kemampuan dalam berkomunikasi dengan menggunakan bahasa asing baik
secra lisan maupun tulisan, peningkatan dalam penghayatan dan pengalaman ajaran
agama, semakin baik dan mulia akhlak dan kepribadian.[25]
Keberhasilan belajar mengajar tersebut
merupakan hal yang sangat penting, karena dari seluruh komponen pendidikan
seperti biaya, sarana, prasarana, guru, proses belajar mengajar dan lain
sebagainya, pada akhirnya tertumpu pada tercapainya tujuan belajar mengajar.
Tujuan belajar mengajar ini selanjutnya diarahkan pada tercapainya tujuan
pendidikan yang pada hakikatnya perubahan-perubahan yang ingin dicapai dalam
skala luas yang merupakan gabungan antara pengetahuan, keterampilan, pola-pola
tingkah laku, sikap, nilai-nilai dan kebiasaan[26].
1. Kriteria
keberhasilan pendidikan karakter menurut ibn karakter menurut ibn Miskawaih dan
John Dewey.
a. Kriteria
keberhasilan pendidikan karakter menurut Ibn Miskawaih.
Kriteria keberhasilan pendidikan
karakter perlu digunakan, untuk mengukur tingkat keberhasilan sebuah program
pendidikan karakter yang dilaksanakan apakah berhasil dan berjalan seperti yang
diharapkan atau tidak.
Sebagaimana yang telah dijelaskan pada
penjelasan sebelumnya, bahwa pendidikan karakter bertujuan untuk mempersiapkan
subjek didik agar kembali dan
mempertahankan fitrahnya sebagai manusia yang sesuai dengan syariat agama islam
sehingga manusia sampai pada kesempurnaannya yaitu dengan tingkatan yang tinggi
dan substansi sebagai manusia dan mampu melahirkan setiap aktivitas yang
memiliki nilai kebaikan[27].
Kriteria pertama, melihat indikasi dalam
pelaksanaan metode yang pertama yaitu internalisasi nilai-nilai kebaikan
melalui mengajarinya nilai-nilai syari’at agama untuk mengenal antara kebaikan
dan keburukan, apa yang boleh dikerjakan, mana yang tidak boleh dikerjakan.
Kriteria pertama ini melihat kognitif subjek didik apakah sudah mengerti dan
memahami nilai-nilai syariat yang diajarkan atau belum. Apabila subjek didik,
sudah mampu mengenal dan memahami nilai-nilai kebaikan yang didapatkan dalam
ketika diajari nilai-nilai syariat agama, maka subjek didik tersebut sudah
dapat dikategorikan berhasil mengikuti program pendidikan karakter yang
diikutinya pada tataran kognitif.
Kriteria kedua, yang digunakan dalam
mengevaluasi keberhasilan pendidikan moral adalah dengan memperhatikan apakah
pendidikan yang diikutinya mampu membentuk malakah dan moral subjek didik.
Sehingga pendidikan moral yang diikutinya akan menjadi tabiatnya yang mampu
merubah sikapnya (afektif) dalam mengikuti karakter yang baik.
Kriteria ketiga, dalam melihat
keberhasilan aplikasi pendidikan moral Ibn Miskawaih yaitu : subjek didik yang
mengikuti program disiplin pendidikan moral sudah tertanam dalam jiwanya untuk
mengikuti pendidikan karakter. Dengan kata lain, aktivitas yang mengandung
nilai kebaikan dilakukannya dengan suka rela dan merasa senang melakukan
aktivitas kebaikan seperti bersifat jujur, tidak[28]
berbohong, mau melaksanakan shalat jama’ah tanpa harus takut hukuman dan
sebagainya.
Kriteria keempat, dalam melihat indikasi
keberhasilan pendidikan moral Ibn Miskawaih yaitu adanya rasa malu ketika
melakukan perbuatan yang tidak mengandung nilai kebaikan, seperti malu untuk
berbohong, malu tidak shalat berjama’ah dan malu berbuat hal-hal yang dilarang
agama. Kriteria ini, merupakan kriteria yang paling utama dan mengandung nilai
yang sangat tinggi. Hal ini karena seseorang melakukan kebaikan tanpa dipaksa
dan tumbuh inisiatif untuk melakukan berbagai kebaikan karena sudah didapatkan
ketika menempuh tahap internalisasi nilai-nilai syari’at agama yang diajarkan
pada dirinya.
Dengan adanya kesadaran yang tinggi,
seseoranng melakukan aktivitas yang mengandung nilai kebaikan bukan karena paksaan
tetapi karena memang menyakininya bahwa melakukan kebaikan tersebut akan
memberikan manfaat terhadap dirinya dan masyarakat sekitarnya yang berinteraksi
dengannya[29].
b. Kriteria
Keberhasilan pendidikan karakter menurut John Dewey.
Dalam melakukan evaluasi keberhasilan
pendidikan karakter, John Dewey pertama menggunakan teorinya sendiri yaitu pragmatisme. Sebuah perbuatan adalah
luhur, baik apabila memberikan manfaat dalam pergaulan hidup. Pengalaman dari
perbuatannya yang telah lalu menilai luhur maupun hina yang dihadapinya[30].
Dengan demikian kriteria keberhasilan
pendidikan moral pertama,menurut
Dewey adalah apabila subjek didik sudah dapat merasakan manfaat dari
pembelajaran yang dilaksanakan pada sebuah institusi pendidikan.
Kriteria
kedua, adalah dengan memperhatikan pendayagunaan potensi
yang dimiliki subjek didik dalam pendidikan, seperti keaktifan, pemikiran yang
jernih dan perasaan yang halus (lembut). Ketika unsur tersebut relevan dengan
daya-daya (potensi) yang dimiliki jiwa manusia[31].
Kriteria
ketiga,yang digunakan dalam melakukan evaluasi keberhasilan
pendidikan karakter dalam melakukan evaluasi keberhasilan pendidikan karakter
adalah dengan melihat pengalaman yang diperoleh subjek didik dalam melakukan
aktivitas pendidikan karakter. Apabila subjek didik dalam melakukan aktivitas
pendidikan karakter. Apabila subjek didik dalam melakukan aktivitas dalam atau
mengikuti pendidikan moral sudah memperoleh pengalaman dan dapat melanjutkan
pada tahap pengalaman selanjutnya maka pendidikan karakter yang dilaksanakan
dapat dikatakan mencapai tujuan yang diinginkan (berhasil).
Kriteria
keempat, dalam mengevaluasi keberhasilan pendidikan karakter
yang dirumuskan John Dewey dengan memperhatikan pelaksanaan pendidikan yang
terpusat pada anak (child-centered). Dengan kata lain pelaksanaan pendidikan
harus berdasarkan minat subjek didik bukan dari disiplin yang digunakan
akademik.
Dengan demikian, keberhasilan pendidikan
karakter yang dirumuskan oleh John Dewey dengan memperhatikan kriteria keempat
ini, berdasarkan kriteria keempat, ini dapat dikatakan bahwa sebuah pendidikan
karakter tersebut berhasil apabila[32]
subjek didik dalam mengikuti pendidikan karakter yang digunakan dapat
mengakomodasi kebutuhan-kebutuhannya, baik itu kebutuhan kognitif, afektif dan
psikomotorik. Unsur-unsur ini harus diperhatikan dalam melakukan evaluasi
pendidikan karakter yang diterapkan[33].
DAFTAR
PUSTAKA
Saleh, Fauzi dan Alimuddin. Pendidikan Islam Solusi Problematika Moderen. Banda Aceh: PeNa.
2007.
Muhammad
AR. Pedidikan di Alaf Baru Rekontruksi atas Moralitas Pendidikan.
Jokjakarta: PRISMASOPHIE. 2003.
Wirianto,
Dicky. Meretas Pendidikan Karakter Perspektif Ibn Miskawaih dan John Dewey.
Banda aceh : PeNa. 2013.
Nata,Abuddin. Perspektif Islam tentang Strategi
Pembelajaran. Jakarta : Kencana. 2011.
Ilyas,Alwahidi. Pendidikan spiritual (integrasi
kecerdasan intelektual dan emosional). Banda Aceh : IAIN Ar-Raniry.2007.
[1] Fauzi saleh, dan Alimuddin, pendidikan islam solusi problematika moderen,(Banda
aceh :PeNa, 2007), hal. 117-119.
[2] Muhammad
AR, Pedidikan di Alaf Baru Rekontruksi atas Moralitas Pendidikan,
(Jokjakarta: PRISMASOPHIE, 2003), hal.23.
[3] Ibid .,hal.24.
[4] Dicky Wirianto, Meretas pendidikan Karakter perspektif Ibn Miskawaih dan John Dewey,(Banda
Aceh : PeNA, 2013), hal.106-123.
[5] Dicky
Wiranto, Meretas Pendidikan,...,hal.136.
[6] Dicky Wiranto, Meretas Pendidikan,...,hal.137.
[7] Dicky Wiranto, Meretas Pendidikan,...,hal.137.
[8] Dicky Wiranto, Meretas Pendidikan,...,hal.138.
[9] Dicky Wiranto, Meretas Pendidikan,...,hal.139.
[10] Dicky
Wiranto, Meretas Pendidikan,...,hal.139.
[11] Dicky
Wiranto, Meretas Pendidikan,...,hal.139.
[12]
Alwahidi ilyas,pendidikan spiritual (integrasi kecerdasan intelektual dan
emosional),(Banda Aceh : IAIN Ar-Raniry, 2007), hal.54.
[13] Dicky
Wiranto, Meretas Pendidikan,...,hal.
46.
[14]Ibid.,hal
16
[15]Ibid.,hal
17-18
[16]Ibid.,hal
19
[17]Ibid.,Hal
20-21
[18] Ibid.,hal
22
[19] Dicky
Wiranto, Meretas Pendidikan Karakter,...,hal.126.
[20] Dicky
Wiranto, Meretas Pendidikan,...,hal.127.
[21] Dicky
Wiranto, Meretas Pendidikan,...,hal.132.
[22] Dicky
Wiranto, Meretas Pendidikan,...,hal.134.
[23] Dicky
Wiranto, Meretas Pendidikan,...,hal.136.
[24]H.
Abuddin Nata, perspektif islam tentang
strategi pembelajaran,(Jakarta : Kencana, 2011), hal. 311.
[25]Ibid .,
hal.312.
[26]Ibid .,
hal.313.
[27]Dicky
Wirianto, meretas pendidikan karakter
perspektif Ibn Miskawaih dan John Dewey,(Banda aceh : PeNa, 2013), hal.148.
[28]Ibid .,hal. 149.
[29]Ibid .,
hal. 150.
[30]Ibid ., hal.151
[31]Ibid ., hal. 152.
[32]Ibid ., hal. 153.
[33]Ibid ., hal.154.