Saturday, January 17, 2015

STRATEGI PEMBINAAN AKHLAK MURID JENJANG PENDIDIKAN DASAR

1.      Pengertian pembinaan akhlak
Akhlak dalam istilah Islam adalah kepribadian yang melahirkan tingkah laku perbuatan manusia terhadap diri sendiri dan makhluk lain sesuai dengan suruhan dan larangan serta petunjuk Al-Quran dan Hadits.
Dalam pembinaan akhlak kepada anak usia dini, diperkenalkan sikap dan prilaku Nabi Muhammad SAW. Yang di utus untuk menyempurnakan akhlak manusia. Dalam hal ini Allah SWT berfirman dalam surah Al-Ahzab ayat 21 yang berbunyi:





Artinya: “ Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut nama Allah”. (Q.S. Al-Ahzab : 21)
Ayat di atas menunjukkan bahwa setiap mukmin dapat mencontoh prilaku Nabi SAW. Yang merupakan pedoman yang dapat menuntun manusia kepada akhlakul karimah.
Seiring dengan perkembangan zaman dan pengaruh transformasi nilai baik melalui media masa dan media elektronik  sangat meberikan dampak dan pengaruh dalam perkembangan mental dan kepribadian anak terutama generasi muda yang masih mencari jati dirinya, masyarakat sangat mengharapkan sekolah menjadi tempat rehabilitasi menta dan kepribadian anak.
Agama islam memandang akhlak sebagai hal yang utama, perhatian islam terhadap akhlak sangat besar, sehingga salah satu tugas Rasulullah Saw diutus Allah adalah memperbaiki akhlak manusia.
Jalaluddin mengatakan pembinaan akhlak pada anak yang paling bertanggung jawab adalah orang tua di dalam rumah, dan guru di lingkungan sekolah serta masyarakat dilingkungan sekolah serta masyarakat di lingkungan sosial, mereka sebagai pendidik bagi anak harus memiliki tiga aspek yaitu :

1.      Akhlak kepada Allah Swt
2.      Akhlak sesama manusia
3.      Akhlak dengan makhluk lain
Pendidikan akhlak dalam keluarga dilaksanakan dengan memberi contoh teladan yang baik, begitu juga guru di sekolah harus mencerminkan seorang yang dapat di contoh oleh anak didik. Baik buruk seorang anak yang tumbuh pada masa anak-anak sangat tergantung pada pendidikan yang diterima oleh anak[1].
2.      Tujuan pendidikan akhlak
Materialisasi tujuan pendidikan merupakan landasan awal bagi proses materialisasi seluruh aspek. Tujuannya dimanapun ia berada merupakan muara akhir dari semua proses yang ada sebelumnya, termasuk disini adalah dalam proses pendidikan. Tujuan pendidikan yang dimaterialisasikan adalah upaya mencapai tujuan pendidikan nasional maupun pendidikan Islam dengan asumsi dapat di ukur secara kuantitatif[2]. Dan dapat dilihat hasilnya secara nyata. Tujuan-tujuan pendidikan yang pernh mengalami materialisasai dapat dilihat tujuan para pendidik.misalnya,berapa alumni yang telah menjadi dokter, berapa yang telah menjadi pengacara, berapa yang telah menjadi pejabat tinggi, dan berapa alumni yang telah menjadi anggota dewan[3].
a.       Tujuan Pendidikan Karakter Menurut Ibn Miskawaih
Menurut Ibn Maskawih, tujuan yang substansial daripada pendidikan dan pembinaan karakter manusia bertujuan untuk membentuk tingkah laku manusia agar memiliki karakter yang baik, bertindak dengan perilaku yang terpuji, sempurna sesuai dengan fitrah dan kodratnya sebagai manusia sehingga mampu mengangkat martabatnya dari martabat yang tercela kepada martabat yang mulia.
            Nilai-nilai karakter yang ingin diwujudkan oleh islam berdimensi transendentral (melampaui wawasan hidup duniawi), sampai ke ukrawi dengan meletakkan cita-cita yang mengandung dimensi nilai duniawi sebagai sarana yang digunakan untuk memperolah tujuan yang ingin dicapai. Secara spesifik tujuan pendidikan moral atau pendidikan akhlak yang dirumuskan Ibn Miskawaih adalah terwujudnya sikap batin yang mampu mendorong seseorang secara spontanitas setiap aktifitas yang dilakukan mempunyai nilai yang baik
            Tujuan pendidikan karakter yang dirumuskan Ibn Miskawaih ini, relevan dengan hakikat karakter yang dikonstruknya yaitu bahwa karakter merupakan suatu sikap yang dilakukan dengan dorongan kekuatan alam bawah sadarnya atu dengan kata lain kebaikan itu timbul tanpa diprogramkan. Jadi tujuan pendidikan karakter yang dirumuskan Ibn Miskawaih tidak keluar dari kerangka pengertian hakikat karakter yang dibangun, namun memiliki relevansi dan saling keterkaitan antara hakikat dan tujuan pendidikan karakter.
            Menurut Ibn Miskawaih pendidikan moral memiliki tujuan untuk membawa manusia kepada kesempurnaannya sebagai manusia, agar memiliki karakter yang dapat dimanipestasikan dalam kehidupannya, sehingga setiap aktivitasnya yang mengandung dan mempunyai nilai yang baik.
            Tujuan pendidikan karakter ibn miskawaih yang memiliki relevansi dengan hakikat karakter yang telah dirumuskannya, dengan demikian dari berbagai penjelasan diatas dapat disimpulkan bahwa setidaknya terdapat tiga tujuan dalam pendidikan karakter.
Dengan demikian dari berbagai penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa setidaknya terdapat tiga tujuan dalam pendidikan karakter yang dirumuskan ibn miskawaih untuk mendukung hakikat moralnya yaitu
a.       Pendidikan karakter bertujuan sebagai usaha untuk mengaktifkan potensi manusia sehingga kembali kepada fitrahnya manusia yang bertauhid berbakti dan dalam agama (beragama islam) yang memiliki akar ketauhidan sehingga tindakan reflektif (tidak diprogramkan) sesuai dengan ketentuan syariat agama.
b.      Pendidikan karakter bertujuan sebagai usaha kontinuetas dalam membentuk malakah dan moral subjek didik melalui program pembiasaan-pembiasaan secara kontinuetas sehingga pengalaman yang didapatkan dalam mengikuti program pendidikan karakter tersebut menjadi sifat yang melekat dalam jiwa (menjadi tabiat) subjek didik, sehingga aktifitas-aktifitas yang dilakukan selanjutnya akan mengikuti atau terbiasa kketiika menjalankan program secara kontinuetas.
c.       Pendidikan karatakter bertujuan agar manusia sempurna dan memperoleh kesiapan untuk mendapatkan atau memperoleh berbagai macam tingkatan.



b.      Tujuan pendidikan menurut John Dewey

Menurut Dewey tujuan pendidikan karakter yaitu menyesuaikan diri dengan lingkungan. Kaidah-kaidah moralitas hanya digunakan dari interaksi hidup seseorang dalam masyarakat.
Dalam pendidikan moral John Dewey ketika dirumuskan akan ditemukan tiga tujuan dalam pendidikan karakter yang diterapkan yaitu :
a.       Pendidikan karakter bertujuan melahirkan atau membentuk pengalaman yang bersifat edukatif secara kontinuitas.
b.      Pendidikan karakter bertujuan melahirkan atau membentuk subjek didik untuk berfikir kritis. Berfikir kritis ini bertujuan agar subjek didik berusaha untuk memecahkan masalah yang biasanya telah menentukan hasil yang diharapkan sejak awal.
c.       Pendidikan karakter bertujuan akan memberikan manfaat kepada subjek didik dan sosial kemasyarakatan[4].

3.      Pendekatan pendidikan akhlak
a.       pendekatan menurut John dewey

pandangan Dewey bahwa karakter tidak dapat diajarkan kepada anak melalui cerita-cerita yang dikisahkan kepadanya, akan tetapi hanya dapat diajarkan melalui praktek yang manusiawi saja, sehingga kebajikan, moralitas dan pengertian yang terkandung didalam cerita-ceirta tidak mungkin dipindahkan (ditransformasikan) ke dalam jiwa anak untuk menjadi karakternya, yang kemudian berinteraksi dengan anak lain berdasarkan atas pemeliharaan keutamaan-keutamaannya, sehingga menghasilkan perilaku yang tetap sebagai watak anak; Akhlak (moralitas) hanya dapat diajarkan dengan cara membiasakan dengan perbuatan praktis.[5]

Mengenai pendekatan yang diguanakan Dewey dalam pendidikan karakter yaitu dengan pendekatan pengalaman, dengan kata lain menekankanpada pengalaman subjek didik dalam bentuk moralitasnya. Namun pengalaman di sini menurut Dewey, bukanlah semua pengalaman, karena tidak semua pengalaman tersebut mendidik bahkan sebaliknya. Bagi Dewey yang penting adalah kualitas pengalaman tersebut apakah dia mampu mendidik atau tidak. Dengan demikian perhatian terhadap pengalaman merupakan fokus Dewy dan pendekatan yang digunakan dalam membentuk moral seseorang.[6]

Menurut Dewey, metode yang digunakan dalam menanamkan moral pada sesseorang harus disesuaikan dengan tingkatan perkembangan, cara berfikir dan cara beraktivitas anak. Sedangkan penentuan materi yang disampaikan harus disesuaikan dengan perhatian, kebutuhan anak sebagai akibat dari instinknya. Hal ini dikarenakan orientasi filsafat yang dianut Dewey pragmatisme, sehingga segala sesuatu yang dilakukan harus memiliki manfaat bagi subjek pendidik, sehingga semua pendekatan yang digunakan harus mampu mengakomodasi kebutuhan subjek pendidik.[7]

Dengan demikian, melakukan konstruksi karakter seorang anak yang berlandaskan pengalaman, dengan kata lain konstruksi moral harus menekankan pada pengalaman subjek didik dalam mengikuti latihan-latihan sebagai upaya konstruksi karakter. Dalam melakukan konstruksi karakter ada 4 faktor, yaitu instink sosial, instink[8] membentuk dan membangun, instink menyelidiki dan instink kesenian.[9]

Mengenai metode ataupun pendekatan yang digunakan Jhon Dewey sebagai upaya atau pendekatan dalam pembentukan moral yang digunakan Jhon Dewey adalah dengan metode pemecahan masalah. Metode ini diaplikasikan Dewey pada sekolah proyeknya sebagai sekolah eksperimen/percobaan untukmenguji teori problem solving ini.[10]

Pengertian pengajaran proyek ini yaitu; guru dan murid membuat perencanaan seputar sebuah permasalahan mengenai hal-hal yang akan dilaksanakan: dipelajari, dibuat, dicatat, diperhatikan, diselidiki, ditinjau, dikumpulkan, disimulasikan dan akhirnya dipresentasikan kepada wali murid.[11]

Selaku umat muslim penerapan konsep hidup agamis di lingkungan keluarga berupa pengenalan dan pemahaman akan Allah dan dirinya menjadi satu kewajiban, hal itu bertujuan agar manusia dapat lebih dekat dengan Allah serta patuh terhadap perintah dan menjaauhi larangan Nya. Di samping itu kekokohan aqidah yang dibangun pada diri tiap insn membentuk kekuatan jiwa sehingga siap menghadaapi segala tantangan zaman[12].




4.      Prosedur pendidikan karakter

Prosedur pendidikan karakter merupakan jalan atau cara yang digunakan dalam pendidikan moral dalam hal ini prosedur pendidikan karakter merupakan penggunaan merode dalam pendidikan karakter.

Teori pendidikan islam harus berangkat dari al-qur’an dan hadits jika ia hendak memiliki nilai tersendiri. Ayat-ayat al-qur’an bukan dimaksudkan untuk dibaca dalam satuan waktu yang dewasa ini tersebut “pendidikan agama”. Ayat-ayat tersebut, sesungguhnya yang membentuk  landasan seluruh sistem pendidikan. Tentu saja tidak bearti lantas subjek-subjek lain dilupakan.

Prinsip-prinsip al-qur’an membangun landasan dasar teori pendidikan, danpara ahli pendidikan harus menerjemahkan detailnya. Al-qur’an membuka pintu bagi para spesialis untuk memberikan kontribusi. Kenyataan ini menyatakan bahwa prinsip-prinsip al-qur’an sebagaimana dinyatakan al-faruqi menjadi tolok ukur[13].

5.      Metode pendidikan akhlak

Pembinaan sikap dan prilaku anak mempunyai metode tersendiri. menurut Abdullah Nasikh Ulwan ada beberapa metode pembinaan anak yang efektif diterapkan antara lain: melalui contoh teladan, memberi nasehat, memberi perhatin khusus membiasakan anak melakukan yang baik, memberi hukuman, untuk mengetahui lebih jelas metode pembinaan anak, berikut ini akan dijelaskan yaitu:
a.       Melalui contoh teladan
Pembinaan dapat dilakukan dengan memberi contoh teladan yang baik pada anak. Metode keteladanan paling berpengaruh dalam mempersiapkan dan membentuk moral anak. Hal ini karena pendidik adalah contoh terbaik dalam pandangan anak, yang ditirunya dalam jiwa dan perasaan satu gambaran, baik material atau spiritual, diketahui atau tidak. Pembinaan anak melalui contoh teladan dengan memberikan contoh teladan yang baik terhadap anak.[14]
b.      Metode nasehat
Selain melalui contoh teladan yang baik, pembinaan anak juga dapat dilakukan dengan memberi nasehat. Islam menganjurkan pendidkan anak melalui nasehat,



Artinya:
Lukman berkata:“hai anak ku dirikanlah sholat dan suruhlah manusia mengerjakan yang baik dan cegalah mereka dari perbuatan yang mungkar dan bersabarlah terhadap apa yang menimpah kamu. Dan sesungguhnya yang demikian itu termasuk hal-hal yang diwajibkan oleh Allah”.
        Ayat diatas merupakan salahsutu metode pembinaan yang terdapat dalam Al-Qur’an. Metode tersebut adalah dengan cara memberi nasehat, menerangkan tentang suatu perbuatan, kemudian menjelaskan akibat yang ditimbulkan.[15]
c.       Memberikan perhatian khusus
Yang dimaksud dengan pembinaan dengan perhatian adalah mencurahkan, memperhatikan dan senantiasa menggikuti perkembangan anak dalam pembinaan aqidah dan moral, seperti sosial dan spiritual, disamping selalu bertanya tentang situasi pendidikan jasmani dan rohaninya. Melalui upayah tersebut tercipta muslim hakiki sebagai batu pertama membangun fondasi islam yang kokoh.[16]
d.      Membiasakan anak melakukan yang baik
Melalui kebiasaan juga dapat mendidik anak, hal ini merupakan salah satu metode pembinaan dalam lingkungan keluarga. Pembiasan sebagai metode pendidikan dalam pertumbuhan dan perkembangan anak akan membentuk budi pekerti dan etika yang lurus.
Dalam islam metode pembinaan anak dikenal 2 metode secara garis besar, yakni: pertama, pengajaran ialah upaya teoritis dalam perbaikan dan pendidikan. Kedua, pembiasaan ialah upaya dalam pembentukan serta persiapan.[17]
e.       Memberikan hukuman
Memberikan hukuman bagi anak yang melanggar atau melakukan tindakan kejahatan merupakan metode yang efektif dalam pembinaan akhlak. Mendidik anak dengan memberi hukuman apabila siAnak tidak melakukan perintah yang bersifat kebaikan merupakan metode efektif mendidik anak. Menghukum anak dilakukan dengan tujuann mendidik anak sebatas tidak menyakiti atau merusak fisik anak.[18]
                        Ada juga metode pendekatan yang digunakan dalam pendidikan karakter menurut  Ibn Miskawaih terdapat beberapa pendekatan dan metode yaitu:
                        Metode pertama, dengan internalisasi nilai-nilai kebaikan melalui mengajari nilai-nilai syari’at dan nasehat-nasehat untuk mentaati dan mengikuti syari’at agama, sehingga ia mengenal dan mengetahui mana yang buruk menurut syari’at agama, mana yang boleh dan mana pula yang dilarang dan tiddak dibolehkan agama. Syariat agama merupakan hal yang mendidik moralitas subjek didik untuk dibiasakan melakukan aktivitas yang baik sesuai dengan tuntunan agama Islam.[19]
                        Metode kedua, memberikan janji yang menyenangkan dan menakutkan, atau yang lebih dikenal dalam pendidikan Islam dengan Thargib wa tahrib, memberikan ganjaran dan hukuman apabila tidak mengikuti rule yang telah ditetapkan sebelumnya. Dalam implementasi  Thargib wa tahrib ini dibenarkan untukdihardik dan dipukul (tanpa membahayakan fisik) sebagai sebuah ancaman yang menakutkan. Dengan kondisi ini, subjek didik akan mengetahui jalan kebaikan sehingga sampai kepada tujuan dan cita-cita pendidikan yang diinginkan.[20]
                        Metode ketiga, yang digunakan dalam pendidikan moral yaitu melatih kedisiplinan melalui latihan-latihan dan pembiasaan melakukan aktivitas yang baik sesuai dengan tuntunan agama seperti membiasakan jujur, berbakti kepada kedua orang tua, membiasakan dengan perkataan-perkataan yang baik dan lainnya sesuai dengan tuntunan agama.[21]
                        Metode keempat, yang digunakan dalam pendidikan karakter Ibn Miskawaih adalah dengan memanfaatkan sifat malu yang dimiliki seorang subjek didik. Menurut Ibn Miskawaih, rasa malu merupakan rasa takut dan perasaan buruk yang dimiliki dan muncul pada anak-anak. Dengan rasa malu ini, seseorang akan takut memperlihatkan keburukan yang dilakukannya. Dan dengan rasa malu ini, akan memproteksi subjek didik dari pengaruh-pengaruh negatif dan membantunya melakukan aktivitas yang memilki nilai kebaikan.[22]
            Keempat metode yang digunakan Ibn Miskawaih,tidak dipilih-pilih dan dipisah-pisahkan. Namun keempat metode ini merupakan serangkaian aktivitas yang harus dilaksanakan dalam membentuk karakter subjek didik. Keempat metode ini, dilakukan berdasarkan urutan-urutan yang telah disebutkan sebelumnya.[23]


6.      Kriteria keberhasilan

a.       Pengertian keberhasilan belajar mengajar
Keberhasilan belajar mengajar pada dasarnya merupakan perubahan positif selama dan sesudah proses belajar mengajar dilaksanakan. Keberhasilan ini anatra lain dapat dilihat dari keterlibatan peserta didik secara aktif dalam proses pembelajaran dan perubahan positif yang ditimbulkan sebagai akibat dari proses belajar mengajar tersebut. Keterlibatan peserta didik tersebut bukan hanya dilihat dari segi fisiknya, melainkan yang lebih penting adalah dari segi intelektual dan emosional selama berlangsungnya kegiatan belajar mengajar tersebut, dan peserta didik mengalami perubahan secara sadar atau tidak sadar setelah mengalami proses belajar mengajar tersebut.
Selain itu, keberhasilan belajar mengajar juga dapat dilihat dari dua segi. Dari segi guru keberhasilan mengajar dapat dilihat dari ketetapatan guru dan memilih bahan ajar, media dan alat pengajaran serta menggunakannya dalam kegiatan belajar dalam sua[24]perspktif islam tentang strategi pembelajaran. Sedangkan dilihat dari segi murid, keberhasilan mengajar dapat dilihat dari timbulnya keinginan yang kuat pada diri setiap siswa untuk belajar mandiri yang mengarah pada terjadinya peningkatan baik pada segi kognitif, afektif, maupun psikomotorik. Keberhasilan belajar mengajar dari segi peserta didik tersebut dapat dilihat dari indikasinya pada sejumlah kompetensi yang dimiliki peserta didik setelah mengikuti kegiatan belajar mengajar, seperti kemampuan dalam mengemukakan berbagai konsep dan teori, kemampuan dalam mempraktikkan berbagai teori dan konsep yang dimilikinya, kemampuan dalam menguasai berbagai peralatan teknologi canggih, kemampuan dalam berkomunikasi dengan menggunakan bahasa asing baik secra lisan maupun tulisan, peningkatan dalam penghayatan dan pengalaman ajaran agama, semakin baik dan mulia akhlak dan kepribadian.[25]
Keberhasilan belajar mengajar tersebut merupakan hal yang sangat penting, karena dari seluruh komponen pendidikan seperti biaya, sarana, prasarana, guru, proses belajar mengajar dan lain sebagainya, pada akhirnya tertumpu pada tercapainya tujuan belajar mengajar. Tujuan belajar mengajar ini selanjutnya diarahkan pada tercapainya tujuan pendidikan yang pada hakikatnya perubahan-perubahan yang ingin dicapai dalam skala luas yang merupakan gabungan antara pengetahuan, keterampilan, pola-pola tingkah laku, sikap, nilai-nilai dan kebiasaan[26].
1.      Kriteria keberhasilan pendidikan karakter menurut ibn karakter menurut ibn Miskawaih dan John Dewey.
a.       Kriteria keberhasilan pendidikan karakter menurut Ibn Miskawaih.
Kriteria keberhasilan pendidikan karakter perlu digunakan, untuk mengukur tingkat keberhasilan sebuah program pendidikan karakter yang dilaksanakan apakah berhasil dan berjalan seperti yang diharapkan atau tidak.
Sebagaimana yang telah dijelaskan pada penjelasan sebelumnya, bahwa pendidikan karakter bertujuan untuk mempersiapkan subjek didik  agar kembali dan mempertahankan fitrahnya sebagai manusia yang sesuai dengan syariat agama islam sehingga manusia sampai pada kesempurnaannya yaitu dengan tingkatan yang tinggi dan substansi sebagai manusia dan mampu melahirkan setiap aktivitas yang memiliki nilai kebaikan[27].
Kriteria pertama, melihat indikasi dalam pelaksanaan metode yang pertama yaitu internalisasi nilai-nilai kebaikan melalui mengajarinya nilai-nilai syari’at agama untuk mengenal antara kebaikan dan keburukan, apa yang boleh dikerjakan, mana yang tidak boleh dikerjakan. Kriteria pertama ini melihat kognitif subjek didik apakah sudah mengerti dan memahami nilai-nilai syariat yang diajarkan atau belum. Apabila subjek didik, sudah mampu mengenal dan memahami nilai-nilai kebaikan yang didapatkan dalam ketika diajari nilai-nilai syariat agama, maka subjek didik tersebut sudah dapat dikategorikan berhasil mengikuti program pendidikan karakter yang diikutinya pada tataran kognitif.
Kriteria kedua, yang digunakan dalam mengevaluasi keberhasilan pendidikan moral adalah dengan memperhatikan apakah pendidikan yang diikutinya mampu membentuk malakah dan moral subjek didik. Sehingga pendidikan moral yang diikutinya akan menjadi tabiatnya yang mampu merubah sikapnya (afektif) dalam mengikuti karakter yang baik.
Kriteria ketiga, dalam melihat keberhasilan aplikasi pendidikan moral Ibn Miskawaih yaitu : subjek didik yang mengikuti program disiplin pendidikan moral sudah tertanam dalam jiwanya untuk mengikuti pendidikan karakter. Dengan kata lain, aktivitas yang mengandung nilai kebaikan dilakukannya dengan suka rela dan merasa senang melakukan aktivitas kebaikan seperti bersifat jujur, tidak[28] berbohong, mau melaksanakan shalat jama’ah tanpa harus takut hukuman dan sebagainya.
Kriteria keempat, dalam melihat indikasi keberhasilan pendidikan moral Ibn Miskawaih yaitu adanya rasa malu ketika melakukan perbuatan yang tidak mengandung nilai kebaikan, seperti malu untuk berbohong, malu tidak shalat berjama’ah dan malu berbuat hal-hal yang dilarang agama. Kriteria ini, merupakan kriteria yang paling utama dan mengandung nilai yang sangat tinggi. Hal ini karena seseorang melakukan kebaikan tanpa dipaksa dan tumbuh inisiatif untuk melakukan berbagai kebaikan karena sudah didapatkan ketika menempuh tahap internalisasi nilai-nilai syari’at agama yang diajarkan pada dirinya.
Dengan adanya kesadaran yang tinggi, seseoranng melakukan aktivitas yang mengandung nilai kebaikan bukan karena paksaan tetapi karena memang menyakininya bahwa melakukan kebaikan tersebut akan memberikan manfaat terhadap dirinya dan masyarakat sekitarnya yang berinteraksi dengannya[29].
b.      Kriteria Keberhasilan pendidikan karakter menurut John Dewey.
Dalam melakukan evaluasi keberhasilan pendidikan karakter, John Dewey pertama menggunakan teorinya sendiri yaitu pragmatisme. Sebuah perbuatan adalah luhur, baik apabila memberikan manfaat dalam pergaulan hidup. Pengalaman dari perbuatannya yang telah lalu menilai luhur maupun hina yang dihadapinya[30].
Dengan demikian kriteria keberhasilan pendidikan moral pertama,menurut Dewey adalah apabila subjek didik sudah dapat merasakan manfaat dari pembelajaran yang dilaksanakan pada sebuah institusi pendidikan.
Kriteria kedua, adalah dengan memperhatikan pendayagunaan potensi yang dimiliki subjek didik dalam pendidikan, seperti keaktifan, pemikiran yang jernih dan perasaan yang halus (lembut). Ketika unsur tersebut relevan dengan daya-daya (potensi) yang dimiliki jiwa manusia[31].
Kriteria ketiga,yang digunakan dalam melakukan evaluasi keberhasilan pendidikan karakter dalam melakukan evaluasi keberhasilan pendidikan karakter adalah dengan melihat pengalaman yang diperoleh subjek didik dalam melakukan aktivitas pendidikan karakter. Apabila subjek didik dalam melakukan aktivitas pendidikan karakter. Apabila subjek didik dalam melakukan aktivitas dalam atau mengikuti pendidikan moral sudah memperoleh pengalaman dan dapat melanjutkan pada tahap pengalaman selanjutnya maka pendidikan karakter yang dilaksanakan dapat dikatakan mencapai tujuan yang diinginkan (berhasil).
Kriteria keempat, dalam mengevaluasi keberhasilan pendidikan karakter yang dirumuskan John Dewey dengan memperhatikan pelaksanaan pendidikan yang terpusat pada anak (child-centered). Dengan kata lain pelaksanaan pendidikan harus berdasarkan minat subjek didik bukan dari disiplin yang digunakan akademik.
Dengan demikian, keberhasilan pendidikan karakter yang dirumuskan oleh John Dewey dengan memperhatikan kriteria keempat ini, berdasarkan kriteria keempat, ini dapat dikatakan bahwa sebuah pendidikan karakter tersebut berhasil apabila[32] subjek didik dalam mengikuti pendidikan karakter yang digunakan dapat mengakomodasi kebutuhan-kebutuhannya, baik itu kebutuhan kognitif, afektif dan psikomotorik. Unsur-unsur ini harus diperhatikan dalam melakukan evaluasi pendidikan karakter yang diterapkan[33].


DAFTAR PUSTAKA

Saleh, Fauzi dan Alimuddin. Pendidikan Islam Solusi Problematika Moderen. Banda Aceh: PeNa. 2007.
Muhammad AR. Pedidikan di Alaf Baru  Rekontruksi atas Moralitas Pendidikan. Jokjakarta: PRISMASOPHIE. 2003.
Wirianto, Dicky.  Meretas Pendidikan Karakter Perspektif Ibn Miskawaih dan John Dewey. Banda aceh : PeNa. 2013.
Nata,Abuddin. Perspektif Islam tentang Strategi Pembelajaran. Jakarta : Kencana. 2011.
Ilyas,Alwahidi. Pendidikan spiritual (integrasi kecerdasan intelektual dan emosional). Banda        Aceh : IAIN  Ar-Raniry.2007.



[1]  Fauzi saleh, dan Alimuddin, pendidikan islam solusi problematika moderen,(Banda aceh :PeNa, 2007), hal. 117-119.
[2] Muhammad AR, Pedidikan di Alaf Baru  Rekontruksi atas Moralitas Pendidikan, (Jokjakarta: PRISMASOPHIE, 2003), hal.23.
[3] Ibid .,hal.24.
[4]  Dicky Wirianto, Meretas pendidikan Karakter perspektif Ibn Miskawaih dan John Dewey,(Banda Aceh : PeNA, 2013), hal.106-123.
[5] Dicky Wiranto, Meretas Pendidikan,...,hal.136.
[6]  Dicky Wiranto, Meretas Pendidikan,...,hal.137.
[7]  Dicky Wiranto, Meretas Pendidikan,...,hal.137.
[8]  Dicky Wiranto, Meretas Pendidikan,...,hal.138.
[9]  Dicky Wiranto, Meretas Pendidikan,...,hal.139.
[10] Dicky Wiranto, Meretas Pendidikan,...,hal.139.
[11] Dicky Wiranto, Meretas Pendidikan,...,hal.139.
[12] Alwahidi ilyas,pendidikan spiritual (integrasi kecerdasan intelektual dan emosional),(Banda Aceh : IAIN Ar-Raniry, 2007), hal.54.
[13] Dicky Wiranto, Meretas Pendidikan,...,hal. 46.
[14]Ibid.,hal 16
[15]Ibid.,hal 17-18
[16]Ibid.,hal 19
[17]Ibid.,Hal 20-21
[18] Ibid.,hal 22
[19] Dicky Wiranto, Meretas Pendidikan Karakter,...,hal.126.
[20] Dicky Wiranto, Meretas Pendidikan,...,hal.127.
[21] Dicky Wiranto, Meretas Pendidikan,...,hal.132.
[22] Dicky Wiranto, Meretas Pendidikan,...,hal.134.
[23] Dicky Wiranto, Meretas Pendidikan,...,hal.136.
[24]H. Abuddin Nata, perspektif islam tentang strategi pembelajaran,(Jakarta : Kencana, 2011), hal. 311.
[25]Ibid ., hal.312.
[26]Ibid ., hal.313.
[27]Dicky Wirianto, meretas pendidikan karakter perspektif Ibn Miskawaih dan John Dewey,(Banda aceh : PeNa, 2013), hal.148.
[28]Ibid .,hal. 149.
[29]Ibid ., hal. 150.
[30]Ibid ., hal.151
[31]Ibid ., hal. 152.
[32]Ibid ., hal. 153.
[33]Ibid ., hal.154.

No comments:

Post a Comment

STRATEGI PEMBINAAN AKHLAK MURID JENJANG PENDIDIKAN DASAR

1.       Pengertian pembinaan akhlak Akhlak dalam istilah Islam adalah kepribadian yang melahirkan tingkah laku perbuatan manusia terha...