Ciri-ciri masyarakat Madani :
1. Free public sphere (ruang publik yang bebas), yaitu masyarakat memiliki akses penuh terhadap setiap kegiatan publik, mereka berhak melakukan kegiatan secara merdeka dalam menyampaikan pendapat, berserikat, berkumpul, serta mempublikasikan informasikan kepada publik.
2. Demokratisasi, yaitu proses untuk menerapkan prinsip-prinsip demokrasi sehingga muwujudkan masyarakat yang demokratis. Untuk menumbuhkan demokratisasi dibutuhkan kesiapan anggota masyarakat berupa kesadaran pribadi, kesetaraan, dan kemandirian serta kemampuan untuk berperilaku demokratis kepada orang lain dan menerima perlakuan demokratis dari orang lain. Demokratisasi dapat terwujud melalui penegakkan pilar-pilar demokrasi yang meliputi :
(1) Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM)
(2) Pers yang bebas
(3) Supremasi hukum
(4) Perguruan Tinggi
(5) Partai politik
3. Toleransi, yaitu kesediaan individu untuk menerima pandangan-pandangan politik dan sikap sosial yang berbeda dalam masyarakat, sikap saling menghargai dan menghormati pendapat serta aktivitas yang dilakukan oleh orang/kelompok lain.
4. Pluralisme, yaitu sikap mengakui dan menerima kenyataan mayarakat yang majemuk disertai dengan sikap tulus, bahwa kemajemukan sebagai nilai positif dan merupakan rahmat dari Tuhan Yang Maha Kuasa.
5. Keadilan sosial (social justice), yaitu keseimbangan dan pembagian yang proporsiaonal antara hak dan kewajiban, serta tanggung jawab individu terhadap lingkungannya.
6. Partisipasi sosial, yaitu partisipasi masyarakat yang benar-benar bersih dari rekayasa, intimidasi, ataupun intervensi penguasa/pihak lain, sehingga masyarakat memiliki kedewasaan dan kemandirian berpolitik yang bertanggungjawab.
7. Supremasi hukum, yaitu upaya untuk memberikan jaminan terciptanya keadilan. Keadilan harus diposisikan secara netral, artinya setiap orang memiliki kedudukan dan perlakuan hukum yang sama tanpa kecuali.
1. Free public sphere (ruang publik yang bebas), yaitu masyarakat memiliki akses penuh terhadap setiap kegiatan publik, mereka berhak melakukan kegiatan secara merdeka dalam menyampaikan pendapat, berserikat, berkumpul, serta mempublikasikan informasikan kepada publik.
2. Demokratisasi, yaitu proses untuk menerapkan prinsip-prinsip demokrasi sehingga muwujudkan masyarakat yang demokratis. Untuk menumbuhkan demokratisasi dibutuhkan kesiapan anggota masyarakat berupa kesadaran pribadi, kesetaraan, dan kemandirian serta kemampuan untuk berperilaku demokratis kepada orang lain dan menerima perlakuan demokratis dari orang lain. Demokratisasi dapat terwujud melalui penegakkan pilar-pilar demokrasi yang meliputi :
(1) Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM)
(2) Pers yang bebas
(3) Supremasi hukum
(4) Perguruan Tinggi
(5) Partai politik
3. Toleransi, yaitu kesediaan individu untuk menerima pandangan-pandangan politik dan sikap sosial yang berbeda dalam masyarakat, sikap saling menghargai dan menghormati pendapat serta aktivitas yang dilakukan oleh orang/kelompok lain.
4. Pluralisme, yaitu sikap mengakui dan menerima kenyataan mayarakat yang majemuk disertai dengan sikap tulus, bahwa kemajemukan sebagai nilai positif dan merupakan rahmat dari Tuhan Yang Maha Kuasa.
5. Keadilan sosial (social justice), yaitu keseimbangan dan pembagian yang proporsiaonal antara hak dan kewajiban, serta tanggung jawab individu terhadap lingkungannya.
6. Partisipasi sosial, yaitu partisipasi masyarakat yang benar-benar bersih dari rekayasa, intimidasi, ataupun intervensi penguasa/pihak lain, sehingga masyarakat memiliki kedewasaan dan kemandirian berpolitik yang bertanggungjawab.
7. Supremasi hukum, yaitu upaya untuk memberikan jaminan terciptanya keadilan. Keadilan harus diposisikan secara netral, artinya setiap orang memiliki kedudukan dan perlakuan hukum yang sama tanpa kecuali.
BAB I
PENDAHULUAN
Masyarakat
madani, konsep ini merupakan penerjemahan istilah dari konsep civil
society yang pertama kali digulirkan oleh Dato Seri Anwar Ibrahim
dalam ceramahnya pada simposium Nasional dalam rangka forum ilmiah pada acara
festival istiqlal, 26 September 1995 di Jakarta. Konsep yang diajukan oleh
Anwar Ibrahim ini hendak menunjukkan bahwa masyarakat yang ideal adalah
kelompok masyarakat yang memiliki peradaban maju. Lebih jelas Anwar Ibrahim
menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan masyarakat madani adalah sistem sosial
yang subur yang diasaskan kepada prinsip moral yang menjamin keseimbangan
antara kebebasan perorangan dengan kestabilan masyarakat.
Menurut
Quraish Shibab, masyarakat Muslim awal disebut umat terbaik karena sifat-sifat
yang menghiasi diri mereka, yaitu tidak bosan-bosan menyeru kepada hal-hal yang
dianggap baik oleh masyarakat selama sejalan dengan nilai-nilai Allah
(al-ma’ruf) dan mencegah kemunkaran. Selanjutnya Shihab menjelaskan, kaum
Muslim awal menjadi “khairu ummah” karena mereka menjalankan amar ma’ruf sejalan
dengan tuntunan Allah dan rasul-Nya. (Quraish Shihab, 200 0, vol.2: 185).
Perujukan
terhadap masyarakat Madinah sebagai tipikal masyarakat ideal bukan pada
peniruan struktur masyarakatnya, tapi pada sifat-sifat yang menghiasi
masyarakat ideal ini. Seperti, pelaksanaan amar ma’ruf nahi munkar yang sejalan
dengan petunjuk Ilahi, maupun persatuan yang kesatuan yang ditunjuk oleh ayat
sebelumnya (lihat, QS. Ali Imran [3]: 105). Adapun cara pelaksanaan amar ma’ruf
nahi mungkar yang direstui Ilahi adalah dengan hikmah, nasehat, dan tutur kata
yang baik sebagaimana yang tercermin dalam QS an-Nahl [16]: 125. Dalam rangka
membangun “masyarakat madani modern”, meneladani Nabi bukan hanya penampilan
fisik belaka, tapi sikap yang beliau peragakan saat berhubungan dengan sesama
umat Islam ataupun dengan umat lain, seperti menjaga persatuan umat Islam,
menghormati dan tidak meremehkan kelompok lain, berlaku adil kepada siapa saja,
tidak melakukan pemaksaan agama, dan sifat-sifat luhur lainnya.
Kita juga
harus meneladani sikap kaum Muslim awal yang tidak mendikotomikan antara
kehidupan dunia dan akhirat. Mereka tidak meninggalkan dunia untuk akhiratnya
dan tidak meninggalkan akhirat untuk dunianya. Mereka bersikap seimbang
(tawassuth) dalam mengejar kebahagiaan dunia dan akhirat. Jika sikap yang
melekat pada masyarakat Madinah mampu diteladani umat Islam saat ini, maka
kebangkitan Islam hanya menunggu waktu saja.
Konsep
masyarakat madani adalah sebuah gagasan yang menggambarkan maasyarakat beradab
yang mengacu pada nila-inilai kebajikan dengan mengembangkan dan menerapkan
prinsip-prinsip interaksi sosial yang kondusif bagi peneiptaan tatanan
demokratis dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara.
BAB II
MASYARAKAT MADANI DAN KESEJAHTERAAN UMAT
2.1 Konsep
Masyarakat Madani
Konsep
“masyarakat madani” merupakan penerjemahan atau pengislaman konsep “civil
society”. Orang yang pertama kali mengungkapkan istilah ini adalah Anwar
Ibrahim dan dikembangkan di Indonesia oleh Nurcholish Madjid. Pemaknaan civil
society sebagai masyarakat madani merujuk pada konsep dan bentuk masyarakat
Madinah yang dibangun Nabi Muhammad. Masyarakat Madinah dianggap sebagai
legitimasi historis ketidakbersalahan pembentukan civil society dalam
masyarakat muslim modern.
Makna Civil
Society “Masyarakat sipil” adalah terjemahan dari civil society. Konsep civil
society lahir dan berkembang dari sejarah pergumulan masyarakat. Cicero adalah
orang Barat yang pertama kali menggunakan kata “societies civilis” dalam
filsafat politiknya. Konsep civil society pertama kali dipahami sebagai negara
(state). Secara historis, istilah civil society berakar dari pemikir Montesque,
JJ. Rousseau, John Locke, dan Hubbes. Ketiga orang ini mulai menata suatu
bangunan masyarakat sipil yang mampu mencairkan otoritarian kekuasaan monarchi-absolut
dan ortodoksi gereja (Larry Diamond, 2003: 278).
Antara
Masyarakat Madani dan Civil Society sebagaimana yang telah dikemukakan di atas,
masyarakat madani adalah istilah yang dilahirkan untuk menerjemahkan konsep di
luar menjadi “Islami”. Menilik dari subtansi civil society lalu
membandingkannya dengan tatanan masyarakat Madinah yang dijadikan pembenaran
atas pembentukan civil society di masyarakat Muslim modern akan ditemukan
persamaan sekaligus perbedaan di antara keduanya.
Perbedaan lain antara civil society dan masyarakat madani adalah civil
society merupakan buah modernitas, sedangkan modernitas adalah buah dari
gerakan Renaisans; gerakan masyarakat sekuler yang meminggirkan Tuhan. Sehingga
civil society mempunyai moral-transendental yang rapuh karena meninggalkan
Tuhan. Sedangkan masyarakat madani lahir dari dalam buaian dan asuhan petunjuk
Tuhan. Dari alasan ini Maarif mendefinisikan masyarakat madani sebagai sebuah
masyarakat yang terbuka, egalitar, dan toleran atas landasan nilai-nilai etik-moral
transendental yang bersumber dari wahyu Allah (A. Syafii Maarif, 2004: 84).
Masyarakat
madani merupakan konsep yang berwayuh wajah: memiliki banyak arti atau sering
diartikan dengan makna yang beda-beda. Bila merujuk kepada Bahasa Inggris, ia
berasal dari kata civil society atau masyarakat sipil, sebuah kontraposisi dari
masyarakat militer. Menurut Blakeley dan Suggate (1997), masyarakat madani
sering digunakan untuk menjelaskan “the sphere of voluntary activity which
takes place outside of government and the market.” Merujuk pada Bahmueller
(1997).
2.1.1 Pengertian
Masyarakat Madani
Masyarakat
madani adalah masyarakat yang beradab, menjunjung tinggi nilai-nilai
kemanusiaan, yang maju dalam penguasaan ilmu pengetahuan, dan teknologi.
Allah SWT memberikan
gambaran dari masyarakat madani dengan firman-Nya dalam Q.S. Saba’ ayat 15:
Sesungguhnya
bagi kaum Saba’ ada tanda (kekuasaan Tuhan) di tempat kediaman mereka yaitu dua
buah kebun di sebelah kanan dan di sebelah kiri. (kepada mereka dikatakan): “Makanlah
olehmu dari rezki yang (dianugerahkan) Tuhanmu dan bersyukurlah kamu
kepada-Nya. (Negerimu) adalah negeri yang baik dan (Tuhanmu) adalah Tuhan yang
Maha Pengampun”.
2.1.2 Masyarakat
Madani Dalam Sejarah
Ada dua
masyarakat madani dalam sejarah yang terdokumentasi sebagai masyarakat madani,
yaitu:
1) Masyarakat
Saba’, yaitu masyarakat di masa Nabi Sulaiman.
2) Masyarakat
Madinah setelah terjadi traktat, perjanjjian Madinah antara Rasullullah SAW
beserta umat Islam dengan penduduk Madinah yang beragama Yahudi dan beragama
Watsani dari kaum Aus dan Khazraj. Perjanjian Madinah berisi kesepakatan ketiga
unsur masyarakat untuk saling menolong, menciptakan kedamaian dalam kehidupan
sosial, menjadikan Al-Qur’an sebagai konstitusi, menjadikan Rasullullah SAW
sebagai pemimpin dengan ketaatan penuh terhadap keputusan-keputusannya, dan
memberikan kebebasan bagi penduduknya untuk memeluk agama serta beribadah
sesuai dengan ajaran agama yang dianutnya.
2.1.3 Karakteristik
Masyarakat Madani
Ada beberapa
karakteristik masyarakat madani, diantaranya:
1. Terintegrasinya
individu-individu dan kelompok-kelompok ekslusif kedalam masyarakat melalui
kontrak sosial dan aliansi sosial.
2. Menyebarnya
kekuasaan sehingga kepentingan-kepentingan yang mendominasi dalam masyarakat
dapat dikurangi oleh kekuatan-kekuatan alternatif.
3.
Dilengkapinya program-program pembangunan yang didominasi oleh negara dengan
program-program pembangunan yang berbasis masyarakat.
4.
Terjembataninya kepentingan-kepentingan individu dan negara karena keanggotaan
organisasi-organisasi volunter mampu memberikan masukan-masukan terhadap
keputusan-keputusan pemerintah.
5. Tumbuhkembangnya
kreatifitas yang pada mulanya terhambat oleh rejim-rejim totaliter.
6. Meluasnya
kesetiaan (loyalty) dan kepercayaan (trust) sehingga individu-individu mengakui
keterkaitannya dengan orang lain dan tidak mementingkan diri sendiri.
7. Adanya
pembebasan masyarakat melalui kegiatan lembaga-lembaga sosial dengan berbagai
ragam perspektif.
8. Bertuhan,
artinya bahwa masyarakat tersebut adalah masyarakat yang beragama, yang
mengakui adanya Tuhan dan menempatkan hukum Tuhan sebagai landasan yang
mengatur kehidupan sosial.
9. Damai,
artinya masing-masing elemen masyarakat, baik secara individu maupun secara
kelompok menghormati pihak lain secara adil.
10. Tolong
menolong tanpa mencampuri urusan internal individu lain yang dapat mengurangi
kebebasannya.
11. Toleran,
artinya tidak mencampuri urusan pribadi pihak lain yang telah diberikan oleh
Allah sebagai kebebasan manusia dan tidak merasa terganggu oleh aktivitas pihak
lain yang berbeda tersebut.
12. Keseimbangan
antara hak dan kewajiban sosial.
13. Berperadaban
tinggi, artinya bahwa masyarakat tersebut memiliki kecintaan terhadap ilmu
pengetahuan dan memanfaatkan kemajuan ilmu pengetahuan untuk umat manusia.
14. Berakhlak
mulia.
Dari
beberapa ciri tersebut, kiranya dapat dikatakan bahwa masyarakat madani adalah
sebuah masyarakat demokratis dimana para anggotanya menyadari akan hak-hak dan
kewajibannya dalam menyuarakan pendapat dan mewujudkan
kepentingan-kepentingannya; dimana pemerintahannya memberikan peluang yang
seluas-luasnya bagi kreatifitas warga negara untuk mewujudkan program-program
pembangunan di wilayahnya. Namun demikian, masyarakat madani bukanlah
masyarakat yang sekali jadi, yang hampa udara, taken for granted. Masyarakat
madani adalah onsep yang cair yang dibentuk dari poses sejarah yang panjang dan
perjuangan yang terus menerus. Bila kita kaji, masyarakat di negara-negara maju
yang sudah dapat dikatakan sebagai masyarakat madani, maka ada beberapa
prasyarat yang harus dipenuhi untuk menjadi masyarakat madani, yakni adanya
democratic governance (pemerintahan demokratis) yang dipilih dan berkuasa
secara demokratis dan democratic civilian (masyarakat sipil yang sanggup menjunjung
nilai-nilai civil security; civil responsibility dan civil resilience).
Apabila
diurai, dua kriteria tersebut menjadi tujuh prasyarat masyarakat madani sbb:
1. Terpenuhinya
kebutuhan dasar individu, keluarga, dan kelompok dalam masyarakat.
2. Berkembangnya
modal manusia (human capital) dan modal sosial (socail capital) yang kondusif
bagi terbentuknya kemampuan melaksanakan tugas-tugas kehidupan dan terjalinya
kepercayaan dan relasi sosial antar kelompok.
3. Tidak
adanya diskriminasi dalam berbagai bidang pembangunan; dengan kata lain
terbukanya akses terhadap berbagai pelayanan sosial.
4. Adanya
hak, kemampuan dan kesempatan bagi masyarakat dan lembaga-lembaga swadayauntuk
terlibat dalam berbagai forum dimana isu-isu kepentingan bersama dan kebijakan
publik dapat dikembangkan.
5. Adanya
kohesifitas antar kelompok dalam masyarakat serta tumbuhnya sikap saling
menghargai perbedaan antar budaya dan kepercayaan.
6. Terselenggaranya
sistem pemerintahan yang memungkinkan lembaga-lembaga ekonomi, hukum, dan
sosial berjalan secara produktif dan berkeadilan sosial.
7. Adanya
jaminan, kepastian dan kepercayaan antara jaringan-jaringan kemasyarakatan yang
memungkinkan terjalinnya hubungan dan komunikasi antar mereka secara teratur,
terbuka dan terpercaya.
Tanpa
prasyarat tesebut maka masyarakat madani hanya akan berhenti pada jargon.
Masyarakat madani akan terjerumus pada masyarakat “sipilisme” yang sempit yang
tidak ubahnya dengan faham militerisme yang anti demokrasi dan sering melanggar
hak azasi manusia. Dengan kata lain, ada beberapa rambu-rambu yang perlu
diwaspadai dalam proses mewujudkan masyarakat madani (lihat DuBois dan Milley,
1992).
Rambu-rambu
tersebut dapat menjadi jebakan yang menggiring masyarakat menjadi sebuah
entitas yang bertolak belakang dengan semangat negara-bangsa:
1. Sentralisme
versus lokalisme. Masyarakat pada mulanya ingin mengganti prototipe
pemerintahan yang sentralisme dengan desentralisme. Namun yang terjadi kemudian
malah terjebak ke dalam faham lokalisme yang mengagungkan mitos-mitos
kedaerahan tanpa memperhatikan prinsip nasionalisme, meritokrasi dan keadilan
sosial.
2. Pluralisme
versus rasisme. Pluralisme menunjuk pada saling penghormatan antara berbagai
kelompok dalam masyarakat dan penghormatan kaum mayoritas terhadap minoritas
dan sebaliknya, yang memungkinkan mereka mengekspresikan kebudayaan mereka
tanpa prasangka dan permusuhan. Ketimbang berupaya untuk mengeliminasi karakter
etnis, pluralisme budaya berjuang untuk memelihara integritas budaya.
Pluralisme menghindari penyeragaman. Karena, seperti kata Kleden (2000:5),
“…penyeragaman adalah kekerasan terhadap perbedaan, pemerkosaan terhadap bakat
dan terhadap potensi manusia.”
Sebaliknya,
rasisme merupakan sebuah ideologi yang membenarkan dominasi satu kelompok ras
tertentu terhadap kelompok lainnya. Rasisme sering diberi legitimasi oleh suatu
klaim bahwa suatu ras minoritas secara genetik dan budaya lebih inferior dari
ras yang dominan. Diskriminasi ras memiliki tiga tingkatan: individual,
organisasional, dan struktural. Pada tingkat individu, diskriminasi ras
berwujud sikap dan perilaku prasangka. Pada tingkat organisasi, diskriminasi
ras terlihat manakala kebijakan, aturan dan perundang-undangan hanya
menguntungkan kelompok tertentu saja. Secara struktural, diskriminasi ras dapat
dilacak manakala satu lembaga sosial memberikan pembatasan-pembatasan dan
larangan-larangan terhadap lembaga lainnya.
3. Elitisme
dan communalisme. Elitisme merujuk pada pemujaan yang berlebihan terhadap
strata atau kelas sosial berdasarkan kekayaan, kekuasaan dan prestise.
Seseorang atau sekelompok orang yang memiliki kelas sosial tinggi kemudian
dianggap berhak menentukan potensi-potensi orang lain dalam menjangkau
sumber-sumber atau mencapai kesempatan-kesempatan yang ada dalam masyarakat.
Konsep
Masyarakat Madani semula dimunculkan sebagai jawaban atas usulan untuk
meletakkan peran agama ke dalam suatu masyarakat Multikultural. Multikultural
merupakan produk dari proses demokratisasi di negeri ini yang sedang
berlangsung terus menerus yang kemudian memunculkan ide pluralistik dan
implikasinya kesetaraan hak individual. Perlu kita pahami, perbincangan seputar
Masyarakat Madani sudah ada sejak tahun 1990-an, akan tetapi sampai saat ini,
masyarakat Madani lebih diterjemahkan sebagai masyarakat sipil oleh beberapa
pakar Sosiologi. Untuk lebih jelasnya, kita perlu menganalisa secara historis
kemunculan masyarakat Madani dan kemunculan istilah masyarakat Sipil, agar
lebih akurat membahas tentang peran agama dalam membangun masyarakat bangsa.
Masyarakat
Sipil adalah terjemahan dari istilah Inggris Civil Society yang mengambil dari
bahasa Latin civilas societas. Secara historis karya Adam Ferguson merupakan
salah satu titik asal penggunaan ungkapan masyarakat sipil (civil society),
yang kemudian diterjemahkan sebagai masyarakat Madani. Gagasan masyarakat sipil
merupakan tujuan utama dalam membongkar masyarakat Marxis. Masyarakat sipil
menampilkan dirinya sebagai daerah kepentingan diri individual dan pemenuhan
maksud-maksud pribadi secara bebas, dan merupakan bagian dari masyarakat yang
menentang struktur politik (dalam konteks tatanan sosial) atau berbeda dari
negara. Masyarakat sipil, memiliki dua bidang yang berlainan yaitu bidang
politik (juga moral) dan bidang sosial ekonomi yang secara moral netral dan
instumental (lih. Gellner:1996).
Seperti
Durkheim, pusat perhatian Ferguson adalah pembagian kerja dalam masyarakat, dia
melihat bahwa konsekuensi sosio-politis dari pembagian kerja jauh lebih penting
dibanding konsekuensi ekonominya. Ferguson melupakan kemakmuran sebagai
landasan berpartisipasi. Dia juga tidak mempertimbangkan peranan agama ketika
menguraikan saling mempengaruhi antara dua partisipan tersebut (masyarakat
komersial dan masyarakat perang), padahal dia memasukan kebajikan di dalam
konsep masyarakatnya. Masyarakat sipil dalam pengertian yang lebih sempit ialah
bagian dari masyarakat yang menentang struktur politik dalam konteks tatanan
sosial di mana pemisahan seperti ini telah terjadi dan mungkin.
Selanjutnya
sebagai pembanding, Ferguson mengambil masyarakat feodal, dimana perbandingan
di antara keduanya adalah, pada masyarakat feodal strata politik dan ekonomi
jelas terlihat bahkan dijamin secara hukum dan ritual, tidak ada pemisahan
hanya ada satu tatanan sosial, politik dan ekonomi yang saling memperkuat satu
sama lain. Posisi seperti ini tidak mungkin lagi terjadi pada masyarakat
komersial. Kekhawatiran Ferguson selanjutnya adalah apabila masyarakat perang
digantikan dengan masyarakat komersial, maka negara menjadi lemah dari serangan
musuh. Secara tidak disadari Ferguson menggemakan ahli teori peradaban, yaitu
Ibnu Khaldun yang mengemukakan spesialisme mengatomisasi mereka dan menghalangi
kesatupaduan yang merupakan syarat bagi efektifnya politik dan militer. Di
dalam masyarakat Ibnu Khaldun militer masih memiliki peran dan berfungsi
sebagai penjaga keamanan negara, maka tidak pernah ada dan tidak mungkin ada
bagi dunianya, masyarakat sipil.
Pada
kenyataannya, apabila kita konsekuen dengan menggunakan masyarakat Madani
sebagai padanan dari Masyarakat Sipil, maka secara historis kita lebih mudah
secara langsung me-refer kepada “masyarakat”nya Ibnu Khaldun. Deskripsi
masyarakatnya justru banyak mengandung muatan-muatan moral-spiritual dan
mengunakan agama sebagai landasan analisisnya. Pada kenyataannya masyarakat
sipil tidak sama dengan masyarakat Madani. Masyarakat Madani merujuk kepada
sebuah masyarakat dan negara yang diatur oleh hukum agama, sedangkan masyarakat
sipil merujuk kepada komponen di luar negara. Syed Farid Alatas seorang sosiolog
sepakat dengan Syed M. Al Naquib Al Attas (berbeda dengan para sosiolog
umumnya), menyatakan bahwa faham masyarakat Madani tidak sama dengan faham
masyarakat Sipil. Istilah Madani, Madinah (kota) dan din (diterjemahkan sebagai
agama) semuanya didasarkan dari akar kata dyn. Kenyataan bahwa nama kota
Yathrib berubah menjadi Medinah bermakna di sanalah din berlaku (lih. Alatas,
2001:7). Secara historispun masyarakat Sipil dan masyarakat Madani tidak
memiliki hubungan sama sekali. Masyarakat Madani bermula dari perjuangan Nabi
Muhammad SAW menghadapi kondisi jahiliyyah masyarakat Arab Quraisy di Mekkah.
Beliau memperjuangkan kedaulatan, agar ummatnya leluasa menjalankan syari’at
agama di bawah suatu perlindungan hukum.
Masyarakat
madani sejatinya bukanlah konsep yang ekslusif dan dipandang sebagai dokumen
usang. Ia merupakan konsep yang senantiasa hidup dan dapat berkembang dalam
setiap ruang dan waktu. Mengingat landasan dan motivasi utama dalam masyarakat
madani adalah Alquran.
Meski
Alquran tidak menyebutkan secara langsung bentuk masyarakat yang ideal namun
tetap memberikan arahan atau petunjuk mengenai prinsip-prinsip dasar dan
pilar-pilar yang terkandung dalam sebuah masyarakat yang baik. Secara faktual,
sebagai cerminan masyarakat yang ideal kita dapat meneladani perjuangan
rasulullah mendirikan dan menumbuhkembangkan konsep masyarakat madani di
Madinah.
Prinsip
terciptanya masyarakat madani bermula sejak hijrahnya Nabi Muhammad Saw.
beserta para pengikutnya dari Makah ke Yatsrib. Hal tersebut terlihat dari
tujuan hijrah sebagai sebuah refleksi gerakan penyelamatan akidah dan sebuah
sikap optimisme dalam mewujudkan cita-cita membentuk yang madaniyyah (beradab).
Selang dua
tahun pascahijrah atau tepatnya 624 M, setelah Rasulullah mempelajari
karakteristik dan struktur masyarakat di Madinah yang cukup plural, beliau
kemudian melakukan beberapa perubahan sosial. Salah satu di antaranya adalah
mengikat perjanjian solidaritas untuk membangun dan mempertahankan sistem
sosial yang baru. Sebuah ikatan perjanjian antara berbagai suku, ras, dan etnis
seperti Bani Qainuqa, Bani Auf, Bani al-Najjar dan lainnya yang beragam saat
itu, juga termasuk Yahudi dan Nasrani.
Dalam
pandangan saya, setidaknya ada tiga karakteristik dasar dalam masyarakat
madani. Pertama, diakuinya semangat pluralisme. Artinya, pluralitas
telah menjadi sebuah keniscayaan yang tidak dapat dielakkan sehingga mau tidak
mau, pluralitas telah menjadi suatu kaidah yang abadi dalam pandangan Alquran.
Pluralitas juga pada dasarnya merupakan ketentuan Allah SWT (sunnatullah),
sebagaimana tertuang dalam Alquran surat Al-Hujurat (49) ayat 13.
Dengan kata
lain, pluralitas merupakan sesuatu yang kodrati (given) dalam kehidupan.
Dalam ajaran Islam, pluralisme merupakan karunia Allah yang bertujuan
mencerdaskan umat melalui perbedaan konstruktif dan dinamis. Ia (pluralitas)
juga merupakan sumber dan motivator terwujudnya vividitas kreativitas
(penggambaran yang hidup) yang terancam keberadaannya jika tidak terdapat
perbedaan (Muhammad Imarah:1999).
Satu hal
yang menjadi catatan penting bagi kita adalah sebuah peradaban yang kosmopolit
akan tercipta manakala umat Islam memiliki sikap inklusif dan mempunyai
kemampuan (ability) menyesuaikan diri terhadap lingkungan sekitar.
Namun, dengan catatan identitas sejati atas parameter-parameter autentik agama
tetap terjaga.
Kedua, adalah
tingginya sikap toleransi (tasamuh). Baik terhadap saudara sesama Muslim
maupun terhadap saudara non-Muslim. Secara sederhana toleransi dapat diartikan
sebagai sikap suka mendengar dan menghargai pendapat dan pendirian orang lain.
Senada
dengan hal itu, Quraish Shihab (2000) menyatakan bahwa tujuan Islam tidak
semata-mata mempertahankan kelestariannya sebagai sebuah agama. Namun juga
mengakui eksistensi agama lain dengan memberinya hak hidup, berdampingan
seiring dan saling menghormati satu sama lain. Sebagaimana hal itu pernah
dicontohkan Rasulullah Saw. di Madinah. Setidaknya landasan normatif dari sikap
toleransi dapat kita tilik dalam firman Allah yang termaktub dalam surat
Al-An’am ayat 108.
Ketiga, adalah
tegaknya prinsip demokrasi atau dalam dunia Islam lebih dikenal dengan istilah musyawarah.
Terlepas dari perdebatan mengenai perbedaan konsep demokrasi dengan musyawarah,
saya memandang dalam arti membatasi hanya pada wilayah terminologi saja, tidak
lebih. Mengingat di dalam Alquran juga terdapat nilai-nilai demokrasi (surat
As-Syura:38, surat Al-Mujadilah:11).
Ketiga
prinsip dasar setidaknya menjadi refleksi bagi kita yang menginginkan
terwujudnya sebuah tatanan sosial masyarakat madani dalam konteks hari ini.
Paling tidak hal tersebut menjadi modal dasar untuk mewujudkan masyarakat yang
dicita-citakan.
2.2 Peran
Umat Islam Dalam Mewujudkan Masyarakat Madani
Dalam
sejarah Islam, realisasi keunggulan normatif atau potensial umat Islam terjadi
pada masa Abbassiyah. Pada masa itu umat Islam menunjukkan kemajuan di bidang
kehidupan seperti ilmu pengetahuan dan teknologi, militer, ekonomi, politik dan
kemajuan bidang-bidang lainnya. Umat Islam menjadi kelompok umat terdepan dan
terunggul. Nama-nama ilmuwan besar dunia lahir pada masa itu, seperti Ibnu
Sina, Ubnu Rusyd, Imam al-Ghazali, al-Farabi, dan yang lain.
2.2.1 Kualitas SDM Umat Islam
Dalam Q.S. Ali Imran ayat 110
Artinya:
Kamu adalah
umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma’ruf,
dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah. sekiranya ahli Kitab
beriman, tentulah itu lebih baik bagi mereka, di antara mereka ada yang
beriman, dan kebanyakan mereka adalah orang-orang yang fasik.
Dari ayat
tersebut sudah jelas bahwa Allah menyatakan bahwa umat Islam adalah umat yang
terbaik dari semua kelompok manusia yang Allah ciptakan. Di antara aspek
kebaikan umat Islam itu adalah keunggulan kualitas SDMnyadibanding umat non
Islam. Keunggulan kualitas umat Islam yang dimaksud dalam Al-Qur’an itu
sifatnya normatif, potensial, bukan riil.
2.2.2 Posisi Umat Islam
SDM umat
Islam saat ini belum mampu menunjukkan kualitas yang unggul. Karena itu dalam
percaturan global, baik dalam bidang politik, ekonomi, militer, dan ilmu
pengetahuan dan teknologi, belum mampu menunjukkan perannya yang signifikan. Di
Indonesia, jumlah umat Islam lebih dari 85%, tetapi karena kualitas SDM nya
masih rendah, juga belum mampu memberikan peran yang proporsional. Hukum
positif yang berlaku di negeri ini bukan hukum Islam. Sistem sosial
politik dan ekonomi juga belum dijiwai oleh nilai-nilai Islam, bahkan
tokoh-tokoh Islam belum mencerminkan akhlak Islam.
2.3 Sistem Ekonomi Islam dan Kesejahteraan Umat
Menurut
ajaran Islam, semua kegiatan manusia termasuk kegiatan sosial dan ekonomi
haruslah berlandaskan tauhid (keesaan Allah). Setiap ikatan atau hubungan
antara seseorang dengan orang lain dan penghasilannya yang tidak sesuai dengan
ajaran tauhid adalah ikatan atau hubungan yang tidak Islami. Dengan demikian
realitas dari adanya hak milik mutlak tidak dapat diterima dalam Islam, sebab
hal ini berarti mengingkari tauhid. Manurut ajaran Islam hak milik mutlak hanya
ada pada Allah saja. Hal ini berarti hak milik yang ada pada manusia hanyalah
hak milik nisbi atau relatif. Islam mengakui setiap individu sebagai pemilik
apa yang diperolehnya melalui bekerja dalam pengertian yang seluas-luasnya, dan
manusia berhak untuk mempertukarkan haknya itu dalam batas-batas yang telah
ditentukan secara khusus dalam hukum Islam. Pernyataan-pernyataan dan
batas-batas hak milik dalam Islam sesuai dengan kodrat manusia itu sendiri,
yaitu dengan sistem keadilan dan sesuai dengan hak-hak semua pihak yang
terlibat di dalamnya.
Di dalam
ajaran Islam terdapat dua prinsip utama, yakni pertama, tidak seorangpun atau
sekelompok orangpun yang berhak mengeksploitasi orang lain; dan kedua, tidak
ada sekelompok orangpun boleh memisahkan diri dari orang lain dengan tujuan
untuk membatasi kegiatan sosial ekonomi di kalangan mereka saja. Islam
memandang umat manusia sebagai satu keluarga, maka setiap manusia adalah sama
derajatnya di mata Allah dan di depan hukum yang diwahyukannya. Konsep
persaudaraan dan perlakuan yang sama terhadap seluruh anggota masyarakat di
muka hukum tidaklah ada artinya kalau tidak disertai dengan keadilan ekonomi
yang memungkinkan setiap orang memperoleh hak atas sumbangan terhadap
masyarakat.
Allah
melarang hak orang lain, sebagaimana dijelaskan dalam Q.S. al-Syu’ara ayat 183:
Artinya:
Dan
janganlah kamu merugikan manusia pada hak-haknya dan janganlah kamu merajalela
di muka bumi dengan membuat kerusakan;
Dalam
komitmen Islam yang khas dan mendalam terhadap persaudaraan, keadilan ekonomi
dan sosial, maka ketidakadilan dalam pendapatan dan kekayaan bertentangan
dengan Islam. Akan tetapi, konsep Islam dalam distribusi pendapatan dan
kekayaan serta konsepsinya tentang keadilan sosial tidaklah menuntut bahwa
semua orang harus mendapat upah yang sama tanpa memandang kontribusinya kepada
masyarakat. Islam mentoleransi ketidaksamaan pendapatan sampai tingkat
tertentu, akrena setiap orang tidaklah sama sifat, kemampuan, dan pelayanannya
dalam masyarakat.
Dalam Q.S.
An-Nahl ayat 71 disebutkan:
Artinya:
Dan Allah
melebihkan sebahagian kamu dari sebagian yang lain dalam hal rezki, tetapi
orang-orang yang dilebihkan (rezkinya itu) tidak mau memberikan rezki mereka
kepada budak-budak yang mereka miliki, agar mereka sama (merasakan) rezki itu.
Maka Mengapa mereka mengingkari nikmat Allah.
Dalam ukuran
tauhid, seseorang boleh menikmati penghasilannya sesuai dengan kebutuhannya.
Kelebihan penghasilan atau kekayaannya. Kelebihan penghasilan atau kekayaannya
harus dibelanjakan sebagai sedekah karena Alah.
Banyak
ayat-ayat Allah yang mendorong manusia untuk mengamalkan sedekah, antara lain
Q.S. An-nisa ayat 114:
Artinya:
Tidak ada
kebaikan pada kebanyakan bisikan-bisikan mereka, kecuali bisikan-bisikan dari
orang yang menyuruh (manusia) memberi sedekah, atau berbuat ma’ruf, atau
mengadakan perdamaian di antara manusia. dan barangsiapa yang berbuat demikian
Karena mencari keredhaan Allah, Maka kelak kami memberi kepadanya pahala yang
besar.
Dalam ajaran
Islam ada dua dimensi utama hubungan yang harus dipelihara, yaitu hubungan
manusia dengan Allah dan hubungan manusia dengan manusia dalam masyarakat.
Kedua hubungan itu harus berjalan dengan serentak. Dengan melaksanakan kedua
hungan itu hidup manusia akan sejahtrera baik di dunia maupun di akhirat kelak.
2.4 Manajemen Zakat
2.4.1 Pengertian
dan Dasar Hukum Zakat
Zakat adalah
memberikan harta yang telah mencapai nisab dan haul kepada orang yang berhak
menerimanya dengan syarat-syarat tertentu. Nisab adalah ukuran tertentu dari
harta yang dimiliki yang mewajibkan dikeluarkannya zakat, sedangkan haul adalah
berjalan genap satu tahun. Zakat juga berarti kebersihan, setiap pemeluk Islam
yang mempunyai harta cukup banyaknya menurut ketentuan (nisab) zakat, wajiblah
membersihkan hartanya itu dengan mengeluarkan zakatnya.
Dari sudut
bahasa, kata zakat berasal dari kata “zaka” yang berarti berkah, tumbuh,
bersih, dan baik. Segala sesuatu yang bertambah disebut zakat. Menurut istilah
fikih zakat berarti sejumlah harta tertentu yang diwajibkan Allah untuk
diserahkan kepada yang berhak. Orang yang wajib zakat disebut “muzakki”,sedangkan
orang yang berhak menerima zakat disebut ”mustahiq” .Zakat
merupakan pengikat solidaritas dalam masyarakat dan mendidik jiwa untuk
mengalahkan kelemahan dan mempraktikan pengorbanan diri serta kemurahan hati.
Di dalam
Alquran Allah telah berfirman sebagai berikut:
Al-Baqarah:
110
Artinya:
“Dan
Dirikanlah shalat dan tunaikanlah zakat. dan kebaikan apa saja yang kamu usahakan
bagi dirimu, tentu kamu akan mendapat pahala nya pada sisi Allah. Sesungguhnya
Alah Maha melihat apa-apa yang kamu kerjakan”.
At-Taubah:
60
Artinya:
“Dan
siapkanlah untuk menghadapi mereka kekuatan apa saja yang kamu sanggupi dan
dari kuda-kuda yang ditambat untuk berperang (yang dengan persiapan itu) kamu
menggentarkan musuh Allah dan musuhmu dan orang orang selain mereka yang kamu
tidak mengetahuinya; sedang Allah mengetahuinya. apa saja yang kamu nafkahkan
pada jalan Allah niscaya akan dibalasi dengan cukup kepadamu dan kamu tidak
akan dianiaya (dirugikan)”.
At-Taubah:
103
Artinya:
“Ambillah
zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan[658] dan
mensucikan[659] mereka dan mendoalah untuk mereka. Sesungguhnya doa kamu itu (menjadi)
ketenteraman jiwa bagi mereka. dan Allah Maha mendengar lagi Maha Mengetahui”.
Adapun
hadist yang dipergunakan dasar hukum diwajibkannya zakat antara lain adalah
hadis yang diriwayatkan oleh Ibnu Abbas berikut:
Dari Ibnu
Abbas, bahwa Rasulullah SAW ketika mengutus Mu’az ke Yaman, ia bersabda: “Sesungguhnya
engkau akan datang ke satu kaum dari Ahli Kitab, oleh karena itu ajaklah mereka
untuk bersaksi bahwa tidak ada Tuhan selain Allah, dan sesungguhnya aku
adalah utusan Allah. Kemudian jika mereka taat kepadamu untuk ajakan itu, maka
beritahukannlah kepada mereka, bahwa Allah telah mewajibkan kepada mereka atas
mereka salat lima kali sehari semalam; lalu jika mereka mentaatimu untuk ajakan
itu, maka beritahukanlah kepada mereka, bahwa Allah telah mewajibkan zakat atas
mereka, yang diambil dari orang-orang kaya mereka; kemudian jika mereka taat
kepadamu untuk ajakan itu, maka berhati-hatilah kamu terhadap kehormatan
harta-harta mereka, dan takutlah terhadap doa orang yang teraniaya, karena
sesungguhnya antara doa itu dan Allah tidak hijab (pembatas)”.
Adapun
harta-harta yang wajib dizakati itu adalah sebagai berikut:
1. Harta
yang berharga, seperti emas dan perak.
2. Hasil
tanaman dan tumbuh-tumbuhan, seperti padi, gandum, kurma, anggur.
3. Binatang
ternak, seperti unta, sapi, kambing, dan domba.
4. Harta
perdagangan.
5. Harta
galian termasuk juga harta rikaz.
Adapun orang
yang berhak menerima zakat adalah:
1. Fakir,
ialah orang yang tidak mempunyai dan tidak pula berusaha.
2. Miskin,
ialah orang yang tidak cukup penghidupannya dengan pendapatannya sehingga
ia selalu dalam keadaan kekurangan.
3. Amil,
ialah orang yang pekerjaannya mengurus dan mengumpulkan zakat untuk dibagikan
kepada orang yang berhak menerimanya.
4. Muallaf,
ialah orang yang baru masuk Islam yang masih lemah imannya, diberi zakat agar
menambah kekuatan hatinya dan tetap mempelajari agama Islam.
5. Riqab,
ialah hamba sahaya atau budak belian yang diberi kebebasan berusaha untuk
menebus dirinya agar menjadi orang merdeka.
6. Gharim,
ialah orang yang berhutang yang tidak ada kesanggupan membayarnya.
7. Fi
sabilillah, ialah orang yang berjuang di jalan Allah demi menegakkan
Islam.
8. Ibnussabil,
ialah orang yang kehabisan biaya atau perbekalan dalam perjalanan yang
bermaksud baik (bukan untuk maksiat).
2.4.2 Sejarah
Pelaksanaan Zakat di Indonesia
Sejak Islam
memsuki Indonesia, zakat, infak, dan sedekah merupakan sumber sumber dana untuk
pengembangan ajaran Islam dan perjuangan bangsa Indonesia melawan
penjajahan Belanda. Pemerintah Belanda khawatir dana tersebut akan digunakan
untuk melawan mereka jika masalah zakat tidak diatur. Pada tanggal 4 Agustus
1938 pemerintah Belanda mengeluarkan kebijakan pemerintah untuk mengawasi
pelaksanaan zakat dan fitrah yang dilakukan oleh penghulu atau naib sepanjang
tidak terjadi penyelewengan keuangan. Untuk melemahkan kekuatan rakyat yang
bersumber dari zakat itu, pemerintah Belanda melarang semua pegawai dan priyai
pribumi ikut serta membantu pelaksanaan zakat. Larangan itu memberikan dampak
yang sangat negatif bagi pelakasanaan zakat di kalangan umat Islam, karena
dengan sendirinya penerimaan zakat menurun sehingga dana rakyat untuk melawan
tidak memadai. Hal inilah yang tampaknya diinginkan Pemerintah Kolonial
Belanda.
Setelah
Indonesia merdeka, di Aceh satu-satunya badan resmi yang mengurus masalah
zakat. Pada masa orde baru barulah perhatian pemerintah terfokus pada masalah
zakat, yang berawal dari anjuran Presiden Soeharto untuk melaksanakan zakat
secara efektif dan efisien serta mengembangkannya dengan cara-cara yang lebih
luas dengan pengarahan yang lebih tepat. Anjuran presiden inilah yang mendorong
dibentuknya badan amil di berbagai propinsi.
2.4.3 Manajemen
Pengelolaan Zakat Produktif
Sehubungan
pengelolaan zakat yang kurang optimal, sebagian masyarakat yang tergerak
hatinya untuk memikirkan pengelolaan zakat secara produktif, sehingga mampu
meningkatkan kesejahteraan umat Islam pada umumnya dan masyarakat pada umumnya.
Oleh karena itu, pada tahun 1990-an, beberapa perusahaan dan masyarakat membentuk
Baitul Mal atau lembaga yang bertugas mengelola dan zakat, infak dan
sedekah dari karyawan perusahaan yang bersangkutan dan masyarakat. Sementara
pemerintah juga membentuk Badan Amil Zakat Nasional.
Dalam
pengelolaan zakat diperlukan beberapa prinsip, antara lain:
1. Pengelolaan
harus berlandasakn Alquran dan Assunnah.
2. Keterbukaan.
Untuk menumbuhkan kepercayaan masyarakat terhadap lembaga amil zakat, pihak
pengelola harus menerapkan manajemen yang terbuka.
3. Menggunakan
manajemen dan administrasi modern.
4. Badan
amil zakat dan lembaga amil zakat harus mengelolah zakat dengan sebaik-baiknya.
Selain itu
amil juga harus berpegang teguh pada tujuan pengelolaan zakat, antara lain:
1. Mengangkat
harkat dan martabat fakir miskin dan membantunya keluar dari kesulitan dan
penderitaan.
2. Membantu
pemecahan masalah yang dihadapi oleh para mustahik
3. Menjembatani
antara yang kaya dan yang miskin dalam suatu masyarakat.
4. Meningkatkan
syiar Islam
5. Mengangkat
harkat dan martabat bangsa dan negara.
6. Mewujudkan
kesejahteraan dan keadilan sosial dalam masyarakat.
2.4.4 Hikmah
Ibadah Zakat
Apabila
prinsip-prinsip pengelolaan dan tujuan pengelolaan zakat dilaksanakan
dipegang oleh amil zakat baik itu berupa badan atau lembaga, dan zakat, infak,
dan sedekah dikelola dengan manajemen modern dengan tetap menerapkan empat
fungsi standar manajemen, tampaknya sasaran zakat, infak maupun sedekah akan
tercapai.
Zakat
memiliki hikmah yang besar, bagi muzakki, mustahik, maupun bagi masyarakat
muslim pada umumnya. Bagi muzakki zakat berarti mendidik jiwa manusia untuk
suka berkorban dan membersihkan jiwa dari sifat kikir, sombong dan angkuh yang
biasanya menyertai pemilikan harta yang banyak dan berlebih.
Bagi
mustahik, zakat memberikan harapan akan adanya perubahan nasib dan sekaligus
menghilangkan sifat iri, dengki dan suudzan terhadap orang-orang kaya, sehingga
jurang pemisah antara si kaya dan si miskin dapat dihilangkan.
Bagi
masyarakat muslim, melalui zakat akan terdapat pemerataan pendapatan dan
pemilikan harta di kalangan umat Islam. Sedangkan dalam tata masyarakat muslim
tidak terjadi monopoli, melainkan sistim ekonomi yang menekankan kepada
mekanisme kerja sama dan tolong-menolong.
2.5 Manajemen
Wakaf
Wakaf adalah
salah satu bentuk dari lembaga ekonomi Islam. Ia merupakan lembaga Islam yang
satu sisi berfungsi sebagai ibadah kepada Allah, sedangkan di sisi lain wakaf
juga berfungsi sosial. Wakf muncul dari satu pernyataan dan perasaan iman yang
mantap dan solidaritas yang tinggi antara sesama manusia. Dalam fungsinya
sebagai ibadah ia diharapkan akan menjadi bekal bagi si wakif di kemudian hari,
karena ia merupakan suatu bentuk amalan yang pahalanya akan terus menerus
mengalir selama harta wakaf itu dimanfaatkan. Sedangkan dalam fungsi sosialnya,
wakaf merupakan aset amat bernilai dalam pembangunan umat.
2.5.1 Pengertian
Wakaf
Istilah
wakaf beradal dari “waqb” artinya menahan. Menurut H. Moh. Anwar disebutkan
bahwa wakaf ialah menahan sesuatu barang daripada dijual-belikan atau diberikan
atau dipinjamkan oleh yang empunya, guna dijadikan manfaat untuk kepentingan
sesuatu yang diperbolehkan oleh Syara’ serta tetap bentuknya dan boleh
dipergunakan diambil manfaatnya oleh orang yang ditentukan (yang meneriman
wakafan), perorangan atau umum.
Adapun
ayat-ayat Al-Qur’an dan hadist yang menerangkan tentang wakaf ini ialah:
Al-Baqarah
ayat 267:
Artinya:
Hai
orang-orang yang beriman, nafkahkanlah (di jalan Allah) sebagian dari hasil
usahamu yang baik-baik dan sebagian dari apa yang kami keluarkan dari bumi
untuk kamu. dan janganlah kamu memilih yang buruk-buruk lalu kamu menafkahkan
daripadanya, padahal kamu sendiri tidak mau mengambilnya melainkan dengan
memincingkan mata terhadapnya. dan Ketahuilah, bahwa Allah Maha Kaya lagi Maha
Terpuji.
Al-Hajj ayat
77
Artinya:
Hai
orang-orang yang beriman, ruku’lah kamu, sujudlah kamu, sembahlah Tuhanmu dan
perbuatlah kebajikan, supaya kamu mendapat kemenangan.
Abu Hurairah
r.a. menceritakan, bahwa Rasullullah SAW bersabda, “Jika seorang manusia
meninggal dunia, maka terputuslah masa ia melanjutkan amal, kecuali mengenai
tiga hal, yaitu: Sedekah jariyah (waqafnya) selama masih dipergunakan, ilmunya
yang dimanfaatkan masyarakat, dan anak salehnya yang mendo’akannya.” (Riwayat
Muslim).
Abu Hurairah
r.a. menceritakan bahwa Rasullullah SAW mengutus Umar untuk memungut zakat…… di
dalam hadist itu terdapat pula Khalid mewakafkan baju besi dan perabot
perangnya di jalan Allah.
2.5.2 Rukun
Wakaf
Adapun
beberapa rukun wakaf ialah:
1) Yang
berwakaf, syaratnya:
- Berhak
berbuat kebaikan walau bukan Isalam sekalipun
- Kehendak
sendiri, ridak sah karena dipaksa
2) Sesuatu
yang diwakafkan, syaratnya:
- Kekal
zakatnya, berarti bila diambil manfaatnya, barangnya tidak rusak.
- Kepunyaan
yang mewakafkan walaupun musya (bercampur dan tidak dapat dipisahkan dari yang
lain).
3) Tempat
berwakaf (yang berhak menerima hasil wakaf itu).
4) Lafadz
wakaf, seperti: “saya wakafkan ini kepada orang-orang miskin dan sebagainya.
2.5.3 Syarat
Wakaf
Syarat wakaf
ada tiga, yaitu:
1) Ta’bid,
yaitu untuk selama-lamanya/tidak terbatas waktunya.
2) Tanjiz,
yaitu diberikan waktu ijab kabul.
3) Imkan-Tamlik,
yaitu dapat diserahkan waktu itu juga
2.5.4 Hukum
Wakaf
1) Pemberian tanah wakaf tidak dapat ditarik
kembali sesudah diamalkannya karena Allah.
2) Pemberian harta wakaf yang ikhlas karena Allah
akan mendapatkan ganjaran terus-menerus selagi benda itu dapat dimanfaatkan
oleh umum dan walaupun bentuk bendanya ditukar dengan yang lain dan masih
bermanfaat.
3) seseorang tidak boleh dipaksa untuk berwakaf
karena bisa menimbulkan perasaan tidak ikhlas bagi pemberiannya.
BAB III
KESIMPULAN
Untuk
mewujudkan masyarakat madani dan agar terciptanya kesejahteraan umat maka
kita sebagai generasi penerus supaya dapat membuat suatu perubahan yang signifikan.
Selain itu, kita juga harus dapat menyesuaikan diri dengan apa yang sedang
terjadi di masyarakat sekarang ini. Agar di dalam kehidupan bermasyarakat kita
tidak ketinggalan berita. Adapun beberapa kesimpulan yang dapat saya ambil dari
pembahasan materi yang ada di bab II ialah bahwa di dalam mewujudkan masyarakat
madani dan kesejahteraan umat haruslah berpacu pada Al-Qur’an dan As-Sunnah
yang diamanatkan oleh Rasullullah kepada kita sebagai umat akhir zaman.
Sebelumnya kita harus mengetahui dulu apa yang dimaksud dengan masyarakat
madani itu dan bagaimana cara menciptakan suasana pada masyarakat madani
tersebut, serta ciri-ciri apa saja yang terdapat pada masyarakat madani sebelum
kita yakni pada zaman Rasullullah.
Selain
memahami apa itu masyarakat madani kita juga harus melihat pada potensi manusia
yang ada di masyarakat, khususnya di Indonesia. Potensi yang ada di dalam diri
manusia sangat mendukung kita untuk mewujudkan masyarakat madani. Karena
semakin besar potensi yang dimiliki oleh seseorang dalam membangun agama Islam
maka akan semakin baik pula hasilnya. Begitu pula sebaliknya, apabila seseorang
memiliki potensi yang kurang di dalam membangun agamanya maka hasilnya pun
tidak akan memuaskan. Oleh karena itu, marilah kita berlomba-lomba dalam
meningkatkan potensi diri melalui latihan-latihan spiritual dan praktek-praktek
di masyarakat.
Adapun di
dalam Islam mengenal yang namanya zakat, zakat memiliki dua fungsi baik untuk
yang menunaikan zakat maupun yang menerimanya. Dengan zakat ini kita dapat
meningkatkan taraf hidup masyarakat higga mencapai derajat yang disebut
masyarakat madani. Selain zakat, ada pula yang namanya wakaf. Wakaf selain
untuk beribadah kepada Allah juga dapat berfungsi sebagai pengikat jalinan
antara seorang muslim dengan muslim lainnya. Jadi wakaf mempunyai dua fungsi
yakni fungsi ibadah dan fungsi sosial.
Maka
diharapkan kepada kita semua baik yang tua maupun yang muda agar dapat
mewujudkan masyarakat madani di negeri kita yang tercinta ini yaitu Indonesia.
Yakni melalui peningkatan kualiatas sumber daya manusia, potensi, perbaikan
sistem ekonomi, serta menerapkan budaya zakat, infak, dan sedekah. Insya Allah
dengan menjalankan syariat Islam dengan baik dan teratur kita dapat memperbaiki
kehidupan bangsa ini secara perlahan. Demikianlah makalah rangkuman materi yang
dapat kami sampaikan pada kesempatan kali ini semoga di dalam penulisan ini
dapat dimengerti kata-katanya sehingga tidak menimbulkan kesalahpahaman di masa
yang akan datang.
Wassalamu’alaiku
wr.wrb.
DAFTAR PUSTAKA
Suito, Deny.
2006. Membangun Masyarakat Madani. Centre For Moderate Muslim
Indonesia: Jakarta.
Mansur,
Hamdan. 2004. Materi Instrusional Pendidikan Agama Islam. Depag RI:
Jakarta.
Suharto,
Edi. 2002. Masyarakat Madani: Aktualisasi Profesionalisme Community
Workers Dalam Mewujudkan Masyarakat Yang Berkeadilan. STKS Bandung:
Bandung.
Sosrosoediro,
Endang Rudiatin. 2007. Dari Civil Society Ke Civil Religion. MUI:
Jakarta.
Sutianto,
Anen. 2004. Reaktualisasi Masyarakat Madani Dalam Kehidupan.
Pikiran Rakyat: Bandung.
Suryana, A.
Toto, dkk. 1996. Pendidikan Agama Islam. Tiga Mutiara: Bandung
Sudarsono.
1992. Pokok-pokok Hukum Islam. Rineka Cipta: Jakarta.
Tim Icce UIN
Jakarta. 2000. Demokrasi, Hak Asasi Manusia dan Masyarakat Madani. Prenada
Media: Jakarta.
I. MASYARAKAT MADANI
DALAM PANDANGAN ISLAM
Dalam perspektif Islam, civil society lebih
mengacu kepada penciptaan peradaban. Kata al-din, yang umumnya
diterjemahkan sebagai agama, berkaitan dengan terma al-tamaddun atau peradaban. Keduanya menyatu ke dalam
pengertian al-madinah yang arti harfiahnya adalah kota. Dengan
demikian, masyarakat madani mengandung tiga hal, yakni:agama, peradaban, dan perkotaan. Dari konsep
ini tercermin bahwa agama merupakan sumbernya, peradaban sebagai prosesnya, dan
masyarakat kota adalah hasilnya.
Secara etimologis, madinah adalah
derivasi dari kosakata Arab yang mempunyai dua pengertian. Pertama, madinah berarti
kota atau disebut dengan "masyarakat kota”. Kedua, “masyarakat
berperadaban” karena madinah adalah juga derivasi dari
kata tamaddun ataumadaniyah yang
berarti “peradaban”, yang
dalam bahasa Inggris dikenal sebagai civility dancivilization. Kata
sifat dari kata madinah adalah madani (Sanaky, 2002:30).
Adapun secara terminologis, masyarakat madani adalah
komunitas Muslim pertama di kota Madinah yang dipimpin langsung oleh Rasul
Allah SAW dan diikuti oleh keempat al-Khulafa al-Rasyidun. Masyarakat madani yang dibangun pada zaman Nabi Muhammad SAW
tersebut identik dengan civil society, karena secara sosio-kultural
mengandung substansi keadaban atau civility. Model masyarakat ini
sering dijadikan model masyarakat modern, sebagaimana yang diakui oleh seorang
sosiolog Barat, Robert N. Bellah, dalam bukunya The Beyond of Belief (1976). Bellah, dalam laporan penelitiannya
terhadap agama-agama besar di dunia, mengakui bahwa masyarakat yang dipimpin
Rasul Allah SAW itu merupakan masyarakat yang sangat modern untuk
zaman dan tempatnya, karena masyarakat Islam kala itu telah melakukan lompatan
jauh ke depan dengan kecanggihan tata sosial dan pembangunan sistem politiknya
(Hatta, 2001:1).
Nabi Muhammad SAW melakukan penataan negara tersebut,
dengan cara: pertama,membangun infrastruktur negara dengan masjid
sebagai simbol dan perangkat utamanya.Kedua, menciptakan kohesi
sosial melalui proses persaudaraan antara dua komunitas yang berbeda, yaitu
Quraisy dan Yatsrib, serta komunitas Muhajirin dan Anshar dalam bingkai solidaritas keagamaan. Ketiga, membuat
nota kesepakatan untuk hidup berdampingan dengan komunitas lain, sebagai sebuah masyarakat
pluralistik yang mendiami wilayah yang sama, melalui Piagam Madinah. Keempat,
merancang sistem negara melalui konsep jihad fi sabilillah (berjuang di jalan Allah).
Dengan dasar ini, negara dan masyarakat Madinah yang
dibangun oleh NabiMuhammad SAW merupakan negara dan masyarakat yang kuat dan
solid. Peristiwa hijrah telah menciptakan keberagaman penduduk Madinah.
Penduduk Madinah tidak terdiri dari Suku Aus, Khazraj dan Yahudi saja, tetapi
juga Muhajirin Quraisy dan suku-suku Arab lain.Nabi SAW menghadapi realitas
pluralitas, karena dalam struktur masyarakat Madinah yang baru dibangun
terdapat beragam agama, yaitu: Islam,
Yahudi, Kristen, Sabi’in, dan
Majusi—ditambah ada pula yang tidak beragama (atheis) dan bertuhan
banyak (polytheis). Struktur masyarakat yang pluralistik ini dibangun
oleh Nabi SAW di atas pondasi ikatan iman dan akidah yang nilainya
lebih tinggi dari solidaritas kesukuan (ashabiyah) dan afiliasi-afiliasilainnya.
Selain itu, masyarakat pada saat itu terbagi ke dalam
beberapa kelompok yang didasarkan atas ikatan keimanan, yaitu: mu'minun, munafiqun, kuffar,
musyrikun, dan Yahudi. Dengan kata lain, masyarakat Madinah pada
saat itu merupakan bagian dari komunitas masyarakat yang majemuk atau plural.
Kemajemukan masyarakat Madinah diawali dengan membanjirnya kaum Muhajirin dari
Makkah, hingga kemudian mengakibatkan
munculnya persoalan-persoalan ekonomi dan kemasyarakatan yang harus
diantisipasi dengan baik. Dalam konteks itu, sosialisasi sistem persaudaraan menjadi
kebutuhan mendesak yang harus diwujudkan.
Untuk mengatasi persoalan tersebut, Nabi Muhammad SAW
bersama semua unsur penduduk madinah secara konkret meletakkan dasar-dasar
masyarakat Madinah yang mengatur kehidupan dan hubungan antarkomunitas, yang
merupakan komponen masyarakat majemuk di Madinah. Kesepakatan hidup bersama
yang dituangkan dalam suatu dokumen yang dikenal sebagai “Piagam Madinah” (Mitsaq
al-Madinah) dianggap sebagai konstitusi tertulis pertama dalam sejarah manusia.
Piagam ini tidak hanya sangat maju pada masanya, tetapi juga menjadi
satu-satunya dokumen penting dalam perkembangan konstitusional dan hukum di
dunia.
Dalam dokumen itulah umat manusia untuk pertama
kalinya diperkenalkan, antara lain, kepada wawasan kebebasan, terutama di
bidang agama dan ekonomi, serta tanggung jawab sosial dan politik, khususnya
pertahanan secara bersama. Dalam piagam tersebut juga ditempatkan hak-hak
individu, yaitu kebebasan memeluk agama, persatuan dan kesatuan, persaudaraan (al-ukhuwwah)
antaragama, perdamaian, toleransi, keadilan (al-'adalah), tidak
membeda-bedakan (anti diskriminasi), dan menghargai kemajemukan.
Dengan kemajemukan tersebut, Nabi Muhammad SAW mampu
mempersatukan mereka. Fakta ini didasarkan pada: pertama, mereka
hidup dalam wilayah Madinah sebagai tempat untuk hidup dan bekerja
bersama. Kedua, mereka bersedia dipersatukan dalam satu umat
untuk mewujudkan kerukunan dan kemaslahatan secara bersama-sama. Ketiga,
mereka menerima Muhammad SAW sebagai pemimpin tertinggi dan pemegang otoritas
politik yang legal dalam kehidupan. Otoritas tersebut juga dilengkapi dengan institusi peraturan yang
disebut Piagam Madinah yang berlaku atas seluruh individu dan setiap kelompok.
Dalam konstitusi Piagam Madinah, secara umum masyarakat
berada dalam satu ikatan yang disebut ummah. Yaitu suatu
masyarakat yang terdiri dari berbagai kelompok sosial yang disatukan dengan
ikatan sosial dan kemanusiaan yang membuat mereka bersatu menjadiummah
wahidah. Oleh karena itu, perbedaan agama bukan merupakan penghambat dalam
mencipatakan suasana persaudaraan dan damai dalam masyarakat plural.
Muhammad Abduh dalam tafsirnya, al-Manar, mengakui bahwa agama bukanlah satu-satunya
faktor ikatan sosial dalam suatu umat, melainkan ada faktor universal yang dapatmendukung terwujudnya suatu
umat, yaitu unsur kemanusiaan. Karenanya unsur kemanusiaan sangat dominan dalam
kehidupan manusia sebagai makhluk sosial atau makhluk politik. Demikian juga
Muhammad Imarah, dalam karyanya berjudul Mafhum al-Ummah fi Hadharat al-Islam, menyatakan bahwa umat yang dibentuk oleh Nabi
Muhammad SAW di Madinah merupakan umat yang sekaligus bersifat agama dan politik (Bahri, 2001).
Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa umat yang
dibentuk Nabi Muhammad SAW di kota Madinah bersifat terbuka, karena Nabi mampu
menghimpun semua komunitas atau golongan penduduk Madinah, baik golongan yang
menerima risalah tauhid beliau maupun yang menolak.
Perbedaan akidah atau agama di antara mereka tidak
menjadi alasan untuk tidak bersatu-padu dalam kehidupan bermasyarakat dan
bernegara. Oleh karena itu, gagasan dan praktik membentuk satu umat dari berbagai golongan dan unsur
sosial pada masa itu merupakan sesuatu yang baru, yang belum pernah dilakukan
oleh kelompok masyarakat manapun sehingga seorang penulis Barat, Thomas W Arnold
menganggapnya sebagai awal dari kehidupan berbangsa dalam Islam, atau merupakan
kesatuan politik dalam bentuk baru yang disatukan oleh Piagam Madinah (Mitsaq al-Madinah).
Konstitusi Piagam Madinah, yang berjumIah 47 pasal itu
(Sukardja, 1995:47-57), secara formal mengatur hubungan sosial antarkomponen
dalam masyarakat. Pertama, antarsesama Muslim. Bahwa sesama Muslim
itu satu umat walaupun mereka berbeda suku. Kedua, hubungan antara
komunitas Muslim dengan non-Muslim didasarkan pada prinsip bertetangga yang
baik, saling membantu dalam menghadapi musuh bersama, membela mereka yang
teraniaya, saling menasihati, dan
menghormati kebebasan beragama. Dari Piagam Madinah ini, setidaknya ada dua
nilai dasar yang tertuang sebagai dasar atau fundamental dalam mendirikan dan
membangun negara Madinah. Pertama, prinsip kesederajatan dan
keadilan (al-musawah wa al-’adalah). Kedua,
inklusivisme atau keterbukaan. Kedua prinsip ini, ditanamkan dalam bentuk
beberapa nilai humanis universal lainnya, seperti konsistensi (iltizam),
seimbang (tawazun), moderat (tawassut), dan toleransi (tasamuh).
Kesemuanya menjadi landasan ideal sekaligus operasional dalam menjalin hubungan
sosial-kemasyarakatan yang mencakup semua aspek kehidupan, baik politik, ekonomi
maupun hukum.
Pada masa awal Nabi SAW membangun Madinah, peran
kelompok-kelompok masyarakat cukup besar dalam pengambilan keputusan,
sebagaimana tercermin dalam Piagam Madinah. Tetapi seiring dengan semakin
banyaknya wahyu yang turun, sistem negara Madinah masa Nabi kemudian berkembang
menjadi “sistem teokrasi”. Negara, dalam hal ini dimanifestasikan dalam figur
Nabi SAW yang memiliki kekuasaan amat besar, baik kekuasaan eksekutif,
legislatif maupun yudikatif. Segala sesuatu pada dasarnya dikembalikan kepada
Nabi SAW, dan ketaatan umat kepada Nabi SAW pun semakin mutlak sehingga tidak
ada kemandirian lembaga masyarakat berhadapan dengan negara.
Meskipun demikian, berbeda dengan umumnya penguasa
dengan kekuasaan besaryang cenderung despotik (sewenang-wenang), Nabi SAW justru meletakkan
nilai-nilai dan norma-norma keadilan, persamaan, persaudaraan, dan kemajemukan yang
menjadi dasar dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara, di samping mendukung
keterlibatan masyarakat (sahabat) dalam pengambilan keputusan secara
musyawarah.
Pada masa al-Khulafa’ al-Rasyidun, sistem negara tidak lagi berbentuk teokrasi
melainkan “nomokrasi”, yaitu prinsip ketuhanan yang diwujudkan dalam bentuk
supremasi syariat. Namun peran masyarakat menjadi lebih besar, di mana hal itu mengindikasikan mulaiterbangunnya
masyarakat madani. Mereka melakukan kontrol terhadap pemerintah, dan rekrutmen
kepemimpinan pun yang didasarkan pada kapasitas individual. Tetapi,
setelah masaal-Khulafa’ al-Rasyidun,
situasi mulai berubah, peran masyarakat mengalami penyusutan, rekrutmen
pimpinan tidak lagi berdasarkan pilihan rakyat (umat), melainkan atas dasar
keturunan. Lembaga keulamaan merupakan satu-satunya lembaga masyarakat madani
yang masih relatif independen. Pada masa kekhilafahan, yakni dari masa al-Khulafa’ al-Rasyidunsampai menjelang runtuhnya Dinasti Ustmani akhir abad ke-19, umat Islam telah memiliki
struktur religio-politik (politik berbasis agama) yang mapan, yakni lembaga legislatif dipegang oleh ulama. Mereka
memiliki kemandirian dalam berijtihad dan menetapkan hukum.
Dari pandangan ini, tercermin bahwa sebenarnya
masyarakat madani yang bernilai peradaban itu dibangun setelah Nabi Muhammad SAW melakukan
reformasi dan transformasi pada individu yang berdimensi akidah, ibadah, dan akhlak. Dalam praktiknya, iman dan moralitaslah yang
menjadi landasan dasar bagi Piagam Madinah. Prinsip-prinsip dan nilai-nilai
tersebut menjadi dasar bagi semua aspek kehidupan, baik politik, ekonomi, dan hukum pada masa Nabi
SAW.
Posisi Piagam Madinah adalah sebagai kontrak sosial
antara Nabi Muhammad SAW dengan penduduk Madinah yang terdiri dari pendatang Quraisy, kaum lokal Yastrib, dan orang-orang yang
menyatakan siap berjuang bersama mereka. Posisi Rasul SAW adalah sebagai
pimpinan yang mereka akui bersama, dan telah meletakkan Islam sebagai landasan
bermasyarakat dan bernegara. Itulah sebabnya penjanjian tersebut, dalam konteks
teori politik, disebut
sebagai Piagam Madinah atau Konstitusi Madinah. Di dalamnya, terdapat pasal-pasal yang menjadi hukum dasar
sebuah negara kota yang kemudian disebut Madinah (al-Madinah
al-Munawarah atau Madinah al-Nabi). Nilai-nilai yang
tercermin dalam masyarakat Madinah saat itu pastilah nilai-nilai Islami yang
tertuang di dalam Piagam Madinah.
Kontrak sosial yang dilakukan Nabi SAW itu dinilai identik dengan teori Social
Contract dari Thomas Hobbes, berupa perjanjian masyarakat yang menyatakan
sumber kekuasaan pemerintah adalah perjanjian masyarakat. Pemerintah memiliki
kekuasaan, karena
adanya perjanjian masyarakat untuk mengurus mereka. Teori Social
Contract J.J. Rousseau bahwa otoritas rakyat dan perjanjian politik
harus dilaksanakan untuk menentukan masa depan rakyat serta menghancurkan
monopoli yang dilakukan oleh kaum elite yang berkuasa atas nama kepentingan
rakyat, juga identik dengan teori Nabi Muhammad SAW ketika membangun ekonomi
dengan membebaskan masyarakat dari cengkeraman kaum kapitalis.
Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa masyarakat
Madinah yang dibangun NabiSAW itu sebenarnya identik dengan civil society,
karena secara sosio-kultural mengandung substansi keadaban atau peradaban.
Nabi SAW menjadikan
masyarakat Madinah pada saat itu sebagai classless society (masyarakat
tanpa kelas), yakni tidak membedakan antara sikaya dan si miskin, pimpinan dan bawahan—di mana seluruhnya sama dan sejajar di hadapanhukum.
Dari uraian di atas, secara terminologis masyarakat
madani yang berkembang dalamkonteks Indonesia setidaknya berada dalam dua pandangan,
yakni: masyarakat Madinah dan
masyarakat sipil (civil society). Keduanya tampak berbeda, tetapi sama. Berbeda, karena memang secara
historis keduanya mewakili budaya yang berbeda, yakni masyarakat Madinah yang
mewakili historis peradaban Islam. Sedangkan masyarakat sipil adalah hasil dari
peradaban Barat, seperti telah dipaparkan di atas. Perbedaan lainnya,
masyarakat Madinah menjadi tipe ideal yang sangat sempurna, karena komunitas
masyarakat dipimpin langsung oleh Nabi Muhammad SAW.
Apabila masyarakat madani diasosiasikan sebagai
penguat peran masyarakat sipil, maka masyarakat madani hanya bertahan di era empat al-Khulafa’ al-Rasyidun. Setelah itu,masyarakat Islam kembali kepada masa monarki, di mana
penguasaan negara (state power) kembali menjadi besar, dan peran
masyarakat (society participation) menjadi kecil. Oleh sebab itu, ketiga
prinsip yang dikemukakan di atas, dapat dikatakan sebagai elemen penting
terbentuknya “masyarakat madani”, yaitu masyarakat yang memegang teguh ideologi
yang benar, berakhlak mulia, bersifat mandiri secara kultural-politik-ekonomi, memiliki
pemerintahan sipil, memiliki prinsip kesederajatan dan keadilan, serta prinsip
keterbukaan.
Timbul pertanyaan, nilai substansial seperti apakah
yang dapat mewakili kecenderungan masyarakat Madinah? Apabila dikaji secara
umum, setidaknya nilai subtansial dari semangat Islam dalam pemberdayaan
masyarakat mencakup tiga pilar utama, yakni: musyawarah (syura),
keadilan (‘adl), dan persaudaraan (ukhuwwah). Sedangkan
masyarakat sipil (civil society) bermula dari semangat dan pergumulan
pemikiran masyarakat Barat untuk mengurangi peranan negara (state) dalam
kehidupan masyarakat.
Seperti diketahui bahwa pada abad pertengahan
masyarakat Barat dikuasai oleh dua kekuatan yang sangat dominan, yakni gereja
dan kerajaan-kerajaan. Sehingga para
sejarahwan Barat menyebutnya
sebagai Abad Kegelapan (the Dark Ages). Selanjutnya, muncul gerakan
perlawanan dari para ilmuwan yang menghadirkan gerakan sekularisme dan
humanisme, di mana mereka menyatakan lepas dari keyakinan gereja, dan manusia dianggap
sebagai pusat segalanya (antrophosentris).
Dengan demikian, ada konsep baru yang ditawarkan
Nabi SAW bahwa
negara itu melampaui batas-batas wilayah geografis. Negara itu lebih cocok dengan
nilai-nilai dasar kemanusiaan (basic values of humanity), sebab
yang menjadi dasar utama kewarganegaraannya bukan nasionalisme, suku, ras atau
pertalian darah. Tetapi manusia dapat memilih konsep hidup tertentu atau akidah
tertentu. Manusia secara bebas
dan merdeka menentukan pilihan akidahnya, tanpa ada tekanan dan paksaan dari pihak mana pun
dan oleh siapa pun. Negara baru yang dibangun Nabi SAW adalah negara
ideologi yang didasarkan pada asas kemanusiaan yang terbuka, sesuai dengan
firman Allah SWT dalam Q.S. al-Baqarah:256.
لَا إِكْرَاهَ فِي الدِّينِ قَدْ تَبَيَّنَ الرُّشْدُ مِنَ الْغَيِّ
“Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam).
Sesungguhnya telah jelas jalan yang benar dari jalan yang sesat.”
Dengan demikian, konsep negara yang ditawarkan Nabi
SAW benar-benar baru dan orisinil, karena negara menjunjung
tinggi harkat dan martabat manusia. Di dalam Q.S. al-Saba’:15, Allah SWT mengilustrasikan profil
masyarakat ideal sebagai berikut:
بَلْدَةٌ طَيِّبَةٌ وَرَبٌّ غَفُورٌ
"Sebuah negeri yang aman sentosa dan
masyarakatnya terampuni dosanya."
PENUTUP
Banyak faktor yang turut menentukan dalam
pemberdayaan masyarakat madani, gambaran masyarakat berdaya yang
diidamkan sangat menentukan dalam perencanaan strategis dan
operasionalnya. Oleh sebab itu, seluruh sektor masyarakat terutama
gerakan, kelompok, dan individu-individu independen yang concered dan
committed padademokratisasi dan masyarakat madani seyogyanya mengambil
strategi yang lebih stabil, lebih halus, bukan mengambil jalan konfrontasi
langsung yang tidak mustahil akan mengorbankan aktor-aktor masyarakat
madani
itu sendiri.
DAFTAR RUJUKAN
Din Syamsuddin. 1999. Etika Agama dalam membangun Masyarakat Madani. Jakarta:
Gramedia Pustaka Utama.
Hatta, Ahmad. 2001. Peradaban yang Bagaimana? Rincian Misi Negara
Tauhid Madinah. http: // rully-indrawan.tripod.com pada tanggal
14 Februari 2012.
Rahardjo,M. Dawam. 1996. Masyarakat Madani: Agama , Kelas Menengah dan
Perubahan Sosial. Jakarta: LP3ES. 1999. cet.
ke.1.
Sanaky, Hujair A.H. 2002. Paradigma Pendidikan Islam : Membangun
Masyarakat Madani Indonesia. Yogyakarta: Safiria Insani Press.
Kholidah, Nur, dkk. 2011. Aktualisasi Pendidikan Islam. Respons
Terhadap Problematika Kontemporer. Malang: Hilal Pustaka.
Yusuf, Y.1998. Azas-azas Teologi dan filosofis
Masyarakat Madani, Makalah Seminar Pembanguan Akhlak Bangsa dalam
Reformasi Menuju Masyarakat Madani.Padang: 28-29 November 1998.
MASYARAKAT MADANI
DALAM SEJARAH
Ada dua masyarakat dalam sejarah yang terdokumentasi sebagai masyarakt
madani, yaitu :
a. Masyarakat Saba’, yaitu masyarakat di masa
Nabi Sulaiman. Nama Saba’ yang terdapat dalam Al Qur’an itu bahkan dijadikan nama
salah satu surat Al Qur’an, yaitu surat ke-34. Keadaan masyarakat Saba’ yang
dikisahkan dalam Al Qur’an itu mendiami negeri yang baik, yang subur dan
nyaman. Di tempat itu terdapat kebun dengan tanamannya yang subur, yang
menyediakan rizki, memenuhi kebutuhan hidup masyarakatnya. Negeri yang indah
itu merupakan wujud dari kasih sayang Allah yang disediakan bagi masyarakat
Saba’. Allah juga Maha Pengampun apabila terjadi kealpaan pada masyarakat
tersebut. Karena itu, Allah memerintahkan masyarakat Saba’ untuk bersyukur
kepada Allah yang telah menyediakan kebutuhan hidup mereka. Kisah keadaan
masyarakat Saba’ ini sangat populer dengan ungkapan Al Qur’an Baldatun
thayyibatun wa Rabbun ghafuur.
b. Masyarakat Madinah setelah terjadi traktat,
perjanjian Rasulullah SAW beserta umat Islam dengan penduduk Madinah yang
beragama Yahudi dan beragama Watsani dari kaum Aus dan Khazraj. Madinah adalah
nama kota di Negara Arab Saudi , tempat yanag didiami Rasulullah SAW sampai
akhir hayat beliau sesudah hijrah. Kota itu sangat populer, karena menjadi
pusat lahir dan berkembangnya agama Islam setelah Mekkah. Di kota itu pertama
kali Rasulullah SAW membangun masjid yang dikenal dengan nama masjid Nabawi.
Perjanjian Madinah berisi kesepakatan ke tiga unsure masyarakat untuk
saling tolong-menolong, menciptakan kedamaian dalam kehidupan sosial,
menjadikan Al Qur’an sebagai konstitusi, menjadikan Rasulullah SAW sebagai
pemimpin dengan ketaatan penuh terhadap keputusan-keputusannya, dan memberikan
kebebasan kepada penduduknya untuk memeluk agama serta beribadah sesuai dengan
ajaran agama yang dianutnya.
http://danianggara73.blogspot.com/2013/11/makalah-masyarakat-madani_8789.html
No comments:
Post a Comment